Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Buku Beramai-ramai itu Bagus, tetapi ...

15 April 2018   17:18 Diperbarui: 16 April 2018   11:23 2931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: dokpri

Ya, tentulah bagus sekali upaya menerbitkan karya dalam bentuk buku, terutama yang kini menggejala di kalangan para guru maupun dosen. Saya mencermati gejala ini sejak beberapa tahun lalu. Sebuah lembaga penerbitan mencetuskan program Satu Guru Satu Buku (Sagusabu) yang diikuti juga oleh lembaga lain dengan nama program yang hampir mirip. Bahkan, ada juga lembaga yang menyelenggarakan penghargaan bagi para guru penulis yang ujung-ujungnya menawarkan penerbitan dan pencetakan buku secara berbayar. 

Sasaran para guru dan dosen yang diajak menulis buku itu menarik karena terkait bahwa karya itu dapat menjadi angka kredit bagi kenaikan pangkat para akademisi itu. Di sisi lain, memang ada adagium seperti ini: "All scientists are the same; until one of them writes a book." Boleh dikatakan semua guru/dosen itu sama saja, sampai salah seorangnya menulis buku. Jadi, menulis buku juga merupakan gengsi profesi.

Namun, semangat dan gejala beramai-ramai menulis buku ini perlu juga dikoreksi. Apalagi, kemudian banyak program menawarkan penulisan buku antologi --kumpulan artikel atau esai dari banyak orang. Seolah-olah para akademisi itu sudah menulis buku, tetapi sebenarnya hanya menjadi kontributor bagi sebuah buku yang disebut antologi itu.

Walaupun begitu, bukan berarti menulis antologi itu tidak baik atau tidak bagus, tetap dapat mendorong kemauan dan kemampuan menulis. Hanya harus disadari bahwa sebagai penulis antologi, seorang penulis belumlah menulis satu buku utuh.

Selain itu, masih juga terdapat bias pemikiran soal self-publisher (penerbit mandiri). Beberapa penerbit termasuk pencetak menawarkan program self-publishing untuk para guru atau dosen --yang sebenarnya jasa mereka itu lebih tepat disebut vanity publisher (penerbit bersubsidi/berbayar) alih-alih menyebut self-publisher. Guru dan dosen disemangati untuk menulis buku, dijanjikan pelatihan dan pendampingan, lalu karyanya diterbitkan. Namun, tentu saja mereka harus membayar dan ini sah-sah saja sebagai "simbiosis mutualisme".

Temuan memprihatinkan karya para guru

Tahun lalu saya diminta menjadi juri oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbud untuk menilai buku-buku yang menjadi nomine sayembara penulis buku untuk guru --saya hanya sempat hadir pada hari pertama. Saya juga tahun lalu dan tahun ini menjadi anggota panitia Penilaian Buku Nonteks Pelajaran di Puskurbuk, Kemendikbud. Karya buku para guru menjadi akrab dalam perhatian saya dalam beberapa tahun terakhir ini.

Selain itu, beberapa kali pula saya diminta mengisi pelatihan penulisan yang ditujukan untuk para guru. Pelatihan terbaru adalah pada 14 April kemarin ketika saya diundang untuk mengisi materi penyuntingan naskah di sebuah kegiatan TOT (training of trainer) penulisan buku untuk para guru di Ambarawa. 

Dari berbagai kegiatan itu saya menilai terkadang semangat para guru menulis buku itu justru tidak diimbangi peningkatan kapasitas menulis buku yang memadai. Banyak buku yang dihasilkan belum memenuhi standar mutu sebuah buku yang baik. Dalam versi saya, buku yang baik itu adalah yang memiliki daya gugah (orang berminat membacanya sampai tuntas); daya ubah (materinya menambah pengetahuan/keterampilan/kepribadian seseorang menjadi lebih baik); dan daya pikat (desainnya estetis dan memenuhi standar kenyaman serta keamanan penggunaan).

Program yang membuat sebegitu banyak guru atau dosen tersentak, lalu ramai-ramai menulis buku, tentu baik sekali. Apalagi, jika dikaitkan dengan peningkatan daya literasi. Namun, senyampang bersemangat, berilah jalan bagi para guru untuk menambah kapasitasnya menulis secara baik dan benar yaitu memenuhi kebutuhan para pembaca sekaligus memenuhi kaidah-kaidah penulisan yang baku.

Siapa yang memberi jalan ini semestinya? Pemerintah dan juga masyarakat atau asosiasi/lembaga yang menaruh perhatian pada peningkatan kapasitas guru. Peran para profesional harus dikuatkan yaitu mereka yang benar-benar menguasai teknik penulisan dan penerbitan buku, bukan yang tiba-tiba saja menjadi pelatih para penulis buku hanya karena pernah menulis buku.

Saya ambil contoh kecil yang selalu saya ulas tentang kekeliruan penulisan buku. Di dalam buku, para penulis harus dapat membedakan kata pengantar (foreword) dan prakata (preface). Kata pengantar ditulis oleh orang lain yang bukan penulis. Isinya adalah apresiasi terhadap karya buku atau si penulis sendiri. Adapun prakata ditulis oleh penulis sendiri. Isinya terkait apa dan mengapa penulis menulis buku dan untuk siapa buku itu ia tulis. Namun, yang banyak terjadi adalah kekacauan pengertian antara kata pengantar dan prakata.

Itu baru satu contoh kecil penyimpangan konsensus internasional dalam penulisan buku. Sebuah buku secara utuh memiliki anatomi, yaitu bagian awal (front matter), bagian isi (text matter), dan bagian akhir (end matter). Baik susunan maupun tata cara penulisan bagian-bagian itu menggunakan kaidah-kaidah yang telah menjadi konsensus seperti termuat pada buku-buku gaya selingkung (house style) yaitu APA (American Psychologial Association), MLA (Modern Language Association), dan Chicago Manual of Style. Hal ini juga sering dilanggar karena memang yang melatih para guru tidak paham dan alhasil guru-guru pun tersesat bukan di jalan yang benar. 

Kelemahan buku karya guru

Saya mencatat sedikitnya ada lima kelemahan dalam penerbitan buku-buku karya guru. Berikut ini saya beberkan satu per satu.

  1. Terindikasi plagiat. Banyak guru penulis yang belum memahami tata cara mengutip karya orang lain secara benar, baik berupa teks maupun gambar. Pengutipan gambar sering hanya menyebutkan sumber berupa situs/blog, tetapi tidak menampilkan nama fotografer atau lembaga pemegang hak cipta gambar tersebut. Jadi, pencarian yang dilakukan melalui mesin pencari seperti Google hanya sebatas pada media daring pemuat gambar tersebut yang belum tentu adalah pemegang hak cipta gambar.

    Selain itu, dalam teks, banyak juga guru yang melakukan tindakan copy paste materi-materi di internet tanpa menyebutkan itu kutipan. Beberapa buku cerita rakyat sering kali mengutip langsung cerita rakyat dari sumber internet. Meskipun cerita rakyat masuk kategori domain publik (hak ciptanya milik publik), tetap saja ada hak cipta bagi para penulis ulang cerita yang dilindungi UU Hak Cipta.

  2. Bahasa yang kacau. Jangan tanyakan soal penggunaan kalimat efektif atau penulisan kata berimbuhan, penerapan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) saja masih kacau. Masih ada saya temukan tanda baca yang tidak diberi spasi pada akhir kalimat atau juga tanda koma. Begitu juga soal kata-kata baku, kapitalisasi, dan pemenggalan kata yang tidak tepat. Sepertinya editor di penerbit tidak bekerja dengan baik --atau memang buku ini tidak diedit sama sekali? Entahlah, saya masih harus mengurut dada dengan kemampuan dan kemahiran berbahasa Indonesia para guru penulis tersebut.

  3. Diksi yang tidak tepat. Beberapa tulisan para guru dalam bahasa sekarang terkesan lebay. Banyak diksi (pilihan kata) atau penggunaan majas yang tidak tepat atau tidak perlu. Beberapa orang guru menulis buku refleksi yang berbasis pengalaman diri sendiri karena itu salah satu jenis tulisan yang paling mudah diwujudkan.

    Dalam refleksi tersebut, para guru menggunakan narasi untuk mengantarkan tulisannya. Di dalam narasi itulah sering terdapat pilihan kata dan majas yang lebay, bahkan terkadang tidak tepat menggambarkan data dan fakta, serta perasaan dan pikiran penulis. Perbendarahaan kata para guru memang harus diuji, termasuk juga penguasaan mereka terhadap gaya bahasa (majas) serta wawasan terhadap kata-kata itu sendiri.

  4. Judul yang tidak berkorelasi dengan isi. Ada saja buku yang judulnya sama sekali tidak berkorelasi secara utuh dengan isi buku. Tampaknya para penulis atau atas saran penerbit terpengaruh juga dengan judul-judul bombastis atau judul-judul indah, tetapi tidak memberi informasi yang cukup bagi para pembaca.

  5. Desain yang monoton. Kalau soal ini tidak mutlak kelemahan para guru, tetapi kelemahan penerbit yang menerbitkan buku-buku karya guru. Terkesan memang kover buku dan desain buku karya guru itu monoton dan senada. Desainer hanya mengubah-ubah gambar, tipografi, atau latar belakang kover. Perwajahan atau desain isi buku juga terkadang tidak memenuhi kaidah-kaidah anatomi buku. Penamaan bagian-bagian buku sering kacau balau serta bercampur antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Belum lagi kalau ditimbang dari segi estetika, banyak desain yang sepertinya dibuat sembarangan saja.

Jangan terus memilih jenis yang mudah

Tentu dalam belajar itu dimulai dari yang mudah, lalu ke sulit. Dalam menulis buku pun para guru wajar saja jika memilih kecenderungan yang paling mudah. Contohnya, menulis buku seperti yang telah saya sebutkan berdasarkan refleksi pengalaman. Sebenarnya, banyak refleksi pengalaman itu biasa saja dan terjadi juga pada orang lain. Artinya, tidak semua refleksi itu menarik bagi banyak orang jika tidak ada sesuatu yang istimewa. Penggalian refleksi yang "istimewa" inilah yang semestinya dipahami oleh para guru penulis.

Kedua, jenis buku yang sering dipilih adalah buku kumpulan tulisan dari artikel. Jadi, ini namanya republishing articles yang belum sepenuhnya dapat menguji ketangguhan seseorang untuk menulis buku, apalagi jika artikel yang dihasilkan juga mutunya masih di bawah rata-rata. 

Saya selalu mengatakan kesejatian para penulis buku diuji dengan menulis buku dengan model (outline) tahapan. Buku tahapan itu ada yang menggunakan model hierarki (urutan vertikal dari mudah ke sulit), model proses (urutan horizontal berupa tahapan yang berurutan), dan model klaster (urutan pembahasan yang dibagi atas kelompok-kelompok).

Penulisan buku berkerangka atau outline tahapan menguji para penulis untuk berpikir sistematis dan logis dalam menyampaikan perasaan dan pikirannya terhadap suatu masalah. Memang model buku tahapan ini hanya berlaku untuk nonfiksi. Jadi, sangat cocok digunakan untuk buku-buku pengayaan pengetahuan atau keterampilan. Boleh juga sekali-sekali para guru terjun dalam penulisan buku referensi, seperti kamus, ensiklopedia, dan peta/atlas. 

***

Tulisan ini mungkin pedas jika diibaratkan sebagai sambal. Tidak ada maksud lain selain untuk mengajak para guru penulis dan para penggagas program-program pelatihan atau pembinaan guru penulis untuk insaf dalam menulis buku meskipun harus berurai air mata (ini terasa lebay). Harapan bangsa ini sangat besar kepada para guru, terutama guru-guru yang dapat menuliskan pengalaman, perasaan, dan pemikirannya untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. 

Saya teringat beberapa tahun lalu, semasa masih aktif di sebuah penerbit, pernah melahirkan kembali karya tokoh pendidikan, Moh. Sjafei (Angku Sjafei) yang merupakan pendiri INS Kayutanam (sebagai informasi Moh. Hatta dan A.A. Navis adalah alumni dari INS Kayutanam). Beliau hidup sezaman dengan Ki Hajar Dewantara dan sempat mengenyam pendidikan di Belanda. Buku beliau yang diterbitkan ulang itu berjudul Arah Aktif yang terbit kali pertama tahun 1953 oleh Penerbit J.B. Wolters.

Saya benar-benar kaget dengan isi buku Angku Sjafei ini yang sangat maju pada zamannya, terutama ketika beliau menjelaskan perbedaan "pendidikan" dan "pengajaran". Beliau menekankan pendidikan keterampilan yang menggagas bahwa setiap anak itu tangannya harus senantiasa bergerak karena tangan-tangan mungil yang bergerak aktif itulah yang akan mendorong kecerdasan mereka.

Angku Sjafei juga mementingkan pengajaran yang mengisi jiwa dengan contoh mengajarkan matematika di luar ruang kelas dan sambil bernyanyi. Beliau menentang pengajaran yang dapat mematikan kreativitas dan kejiwaan siswa seperti hanya mendengarkan guru mengoceh di dalam kelas. 

Begitulah saya berharap guru-guru penulis kita saat ini menjadi Angku Sjafei-Angku Sjafei lain yang membuat terobosan dalam pemikiran pendidikan di Indonesia melalui buku.

Maka dari itu, perbaikan harus dimulai dari pemahaman para guru secara komprehensif tentang ide/gagasan yang dapat dikembangkan menjadi buku, lalu bagaimana proses menulis itu dilakukan yaitu prewriting-drafting-revising-editing-publishing. Hal ini tidak gampang, tetapi harus diperjuangkan. 

Jadi, kalau ada yang mengatakan menulis buku itu gampang, mengutip syair lagu Iwan Fals, aku hanya terdiam sambil kencing diam-diam dengar kisah temanku punya kawan. Maaf![]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun