Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Buku Beramai-ramai itu Bagus, tetapi ...

15 April 2018   17:18 Diperbarui: 16 April 2018   11:23 2931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: dokpri

Itu baru satu contoh kecil penyimpangan konsensus internasional dalam penulisan buku. Sebuah buku secara utuh memiliki anatomi, yaitu bagian awal (front matter), bagian isi (text matter), dan bagian akhir (end matter). Baik susunan maupun tata cara penulisan bagian-bagian itu menggunakan kaidah-kaidah yang telah menjadi konsensus seperti termuat pada buku-buku gaya selingkung (house style) yaitu APA (American Psychologial Association), MLA (Modern Language Association), dan Chicago Manual of Style. Hal ini juga sering dilanggar karena memang yang melatih para guru tidak paham dan alhasil guru-guru pun tersesat bukan di jalan yang benar. 

Kelemahan buku karya guru

Saya mencatat sedikitnya ada lima kelemahan dalam penerbitan buku-buku karya guru. Berikut ini saya beberkan satu per satu.

  1. Terindikasi plagiat. Banyak guru penulis yang belum memahami tata cara mengutip karya orang lain secara benar, baik berupa teks maupun gambar. Pengutipan gambar sering hanya menyebutkan sumber berupa situs/blog, tetapi tidak menampilkan nama fotografer atau lembaga pemegang hak cipta gambar tersebut. Jadi, pencarian yang dilakukan melalui mesin pencari seperti Google hanya sebatas pada media daring pemuat gambar tersebut yang belum tentu adalah pemegang hak cipta gambar.

    Selain itu, dalam teks, banyak juga guru yang melakukan tindakan copy paste materi-materi di internet tanpa menyebutkan itu kutipan. Beberapa buku cerita rakyat sering kali mengutip langsung cerita rakyat dari sumber internet. Meskipun cerita rakyat masuk kategori domain publik (hak ciptanya milik publik), tetap saja ada hak cipta bagi para penulis ulang cerita yang dilindungi UU Hak Cipta.

  2. Bahasa yang kacau. Jangan tanyakan soal penggunaan kalimat efektif atau penulisan kata berimbuhan, penerapan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) saja masih kacau. Masih ada saya temukan tanda baca yang tidak diberi spasi pada akhir kalimat atau juga tanda koma. Begitu juga soal kata-kata baku, kapitalisasi, dan pemenggalan kata yang tidak tepat. Sepertinya editor di penerbit tidak bekerja dengan baik --atau memang buku ini tidak diedit sama sekali? Entahlah, saya masih harus mengurut dada dengan kemampuan dan kemahiran berbahasa Indonesia para guru penulis tersebut.

  3. Diksi yang tidak tepat. Beberapa tulisan para guru dalam bahasa sekarang terkesan lebay. Banyak diksi (pilihan kata) atau penggunaan majas yang tidak tepat atau tidak perlu. Beberapa orang guru menulis buku refleksi yang berbasis pengalaman diri sendiri karena itu salah satu jenis tulisan yang paling mudah diwujudkan.

    Dalam refleksi tersebut, para guru menggunakan narasi untuk mengantarkan tulisannya. Di dalam narasi itulah sering terdapat pilihan kata dan majas yang lebay, bahkan terkadang tidak tepat menggambarkan data dan fakta, serta perasaan dan pikiran penulis. Perbendarahaan kata para guru memang harus diuji, termasuk juga penguasaan mereka terhadap gaya bahasa (majas) serta wawasan terhadap kata-kata itu sendiri.

  4. Judul yang tidak berkorelasi dengan isi. Ada saja buku yang judulnya sama sekali tidak berkorelasi secara utuh dengan isi buku. Tampaknya para penulis atau atas saran penerbit terpengaruh juga dengan judul-judul bombastis atau judul-judul indah, tetapi tidak memberi informasi yang cukup bagi para pembaca.

  5. Desain yang monoton. Kalau soal ini tidak mutlak kelemahan para guru, tetapi kelemahan penerbit yang menerbitkan buku-buku karya guru. Terkesan memang kover buku dan desain buku karya guru itu monoton dan senada. Desainer hanya mengubah-ubah gambar, tipografi, atau latar belakang kover. Perwajahan atau desain isi buku juga terkadang tidak memenuhi kaidah-kaidah anatomi buku. Penamaan bagian-bagian buku sering kacau balau serta bercampur antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Belum lagi kalau ditimbang dari segi estetika, banyak desain yang sepertinya dibuat sembarangan saja.

Jangan terus memilih jenis yang mudah

Tentu dalam belajar itu dimulai dari yang mudah, lalu ke sulit. Dalam menulis buku pun para guru wajar saja jika memilih kecenderungan yang paling mudah. Contohnya, menulis buku seperti yang telah saya sebutkan berdasarkan refleksi pengalaman. Sebenarnya, banyak refleksi pengalaman itu biasa saja dan terjadi juga pada orang lain. Artinya, tidak semua refleksi itu menarik bagi banyak orang jika tidak ada sesuatu yang istimewa. Penggalian refleksi yang "istimewa" inilah yang semestinya dipahami oleh para guru penulis.

Kedua, jenis buku yang sering dipilih adalah buku kumpulan tulisan dari artikel. Jadi, ini namanya republishing articles yang belum sepenuhnya dapat menguji ketangguhan seseorang untuk menulis buku, apalagi jika artikel yang dihasilkan juga mutunya masih di bawah rata-rata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun