Awalnya mungkin cinta itu diperlakukan dengan baik penuh kesabaran. Karena di posisi terlalu dalam, perawatannya jadi sulit dan penuh dendam. Mulai banyak luka yang telanjur kering. Itu karena jalan berdua sudah tidak lagi seiring.
Cinta yang berdendam itu seperti sekam. Awet menyimpan panas, menjadikan wajah cinta mulai luka bakar terkelupas. Perjalanan cinta mulai menjauh dari hakikat yang bernas.
Kadang lucu juga. Berumah tangga dijadikan ajang balas dendam. Bermain-main di tepi jurang kehancuran, menikmati gemuruh suara dendam yang berdentam-dentam.
Seolah-olah pernikahan itu dulunya tanpa pertimbangan yang mendalam.
Memang, tidak semua perselingkuhan itu berakhir dengan perceraian. Demi menjaga citra keharmonisan, sengaja dimaklumi dan diteruskan penuh seni.
Jika masih teringat bahwa pernikahan itu juga bertujuan prokreatif, maka muatan religius tersebut mungkin masih diingat dan bertekad untuk tidak lagi melanjutkan petualangan ini.
Hakikat cinta dalam rengkuh pernikahan itu sebenarnya saling menyempurnakan. Saat sedang gelap mata, kandungan mulia cenderung mulai sirna. Jika diterus-teruskan, makin tersesat, dan kita pun lupa berbahagia seperti janji semula.