Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Butuh Berselingkuh Tanpa Rikuh

5 Oktober 2021   03:09 Diperbarui: 5 Oktober 2021   03:10 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu berselingkuh, cinta mulai retak tak utuh. Awalnya mungkin hanya iseng. Tetapi karena bersensasi, akhirnya keterusan. Mungkin karena di dalam perselingkuhan terdapat seni sembunyi-sembunyi, dheg-dheg plas pun tak henti-henti.

Apalagi di tengah status nikah sah. Terasa penuh gairah. Keterlibatan emosi meninggi, belajar seni peran agar sulit ketahuan. Bagi yang bersebab, sulit untuk dihindari, karena memang itulah yang sedang dibutuhkan dalam kehidupan cinta sehari-hari.

Dulu berjanji, bahwa cinta tak bisa dibagi. Tapi karena berbagai sebab, jalan ini sepertinya masuk logika walau dijalani ketika sudah berumah tangga.

Jika itu affair, dampaknya sulit berakhir. Itu sudah menjadi kebutuhan mendesak, pemicunya banyak.

Bisa jadi sudah menjadi kebutuhan atau hanya pelarian. Mungkin buah kekecewaan atau sedang kesepian. Atau sedang tidak akur, karena ego sulit diatur. Atau mengharap dimanja, tapi kenyataannya dibiarkan saja. Meniru kelakuan, karena faktor keturunan. Terlalu banyak dinas ke luar kota, minim belaian, memicu nafsu liar yang lebih memesona.

Cinta yang lahir karena perselingkuhan, katanya lebih romantis. Seperti sedang berpetualang. Didekati lari, dibidik luput. Dibiarkan malah ikut.

Pengamat perselingkuhan menganalisis, telah terjadi pengingkaran terhadap hakikat perjanjian atau akad dulu.

Ketika akan menikah memang bermodalkan akal atau aqil. Tetapi nikah itu lebih banyak mengolah emosi. Walau di sana terdapat pemenuhan kebutuhan biologis, aplikasi moral, bahkan sarat dengan kandungan nilai spiritual.

Suasana berumah tangga yang ideal, digambarkan sebagai suasana batin para pihak yang saling memberi perhatian. Tadinya tak terpikirkan sama sekali bahwa di tengah perjalanan, ternyata cinta itu masih mungkin dibagi-bagi.

Kemuliaan dari tujuan awal  tereduksi. Hanya gara-gara mengikuti emosi, cinta dan ketenangan pun ditipiskan pelan-pelan.

Menurut pengalaman, sepuluh tahun masa pernikahan termasuk rawan perselingkuhan. Karir sedang menanjak. Kebutuhan biologis masih menggelegak. Materi tersedia banyak. Nyali meninggi tak memikirkan dampak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun