Kemarin kita memasang bendera setengah tiang. Hari ini satu tiang penuh.
Ketika bendera merah putih berkibar terkena angin, sejenak teringat kejadian di tahun 1965. Terjadi ontran-ontran politik G 30 S PKI. Dan kemudian istilah Tapol atau Tahanan Politik mulai dikenal luas.
Sejak saat itu istilah stigma mengikutinya. Stigma awalnya dimaksudkan sebagai penanda khusus untuk penjahat. Cap itu diposisikan pada bagian anggota badan tertentu agar mudah dikenali.
Tahanan politik adalah stigma. Anak keturunan mereka juga. Ini hasil litsus atau penelitian khusus, untuk melacak keberadaan paham yang diasumsikan diwariskan turun temurun.
Bila terdapat indikasi ideologi terlarang itu, kesimpulannya akan membahayakan kehidupan bernegara. Lalu pengertian stigma dilekatkan terus sebagai tanda noda warga negara.
Dalam dunia politik, tanda noda masih saja ada. Sangat efektif untuk memilah, siapa aku dan siapa kamu.
Di sekitar hari ini pun, upaya untuk memanfaatkan stigma dirindukan lagi. Tentu di balik semua itu ada ambisi.
Kapan pun nanti, pemberian cap akan membuat hidup menjadi terkesiap. Apalagi jika dijadikan tradisi atau budaya politik yang penuh intrik.
Mungkin saja karena itu akan terlahir budayawan politik. Perhatian utamanya mengamati gejala pengabaian makna budaya untuk tujuan politik praktis.
Rezim yang punya kecenderungan otoritarian, bisa lebih tega mengenakan sanksi terhadap ketidakpatuhan politik, menjadi kejam berkepanjangan.
Hari kemarin kita pernah menjadi saksi terhadap kecenderungan budaya politik itu. Jika pun situasi memungkinkan, jangan sampai penerapan budaya politik berbasis stigma itu dijadikan keyakinan empiris.