Bagi para pemuja nasi, nasi lembek atau nasi nglethis, dapat dimaklumi. Apalagi kalau sudah terbiasa hidup di negeri orang.
Khasanah itu terbawa pula di saat memilih menu nasi di restoran gaya Italy, misalnya. Risotto yang nglethis pasti diterima dengan suka cita. Karena kematangannya memang disengaja berkategori"al dente". Nglethis mirip "rice" Amerika.
Sesama Asia pun, fanatisme tentang nasi juga berbeda-beda. Etnis India paling suka beras basmati. Lalu sengaja dibiarkan kering cenderung keras. Itu karena cara makannya dicampur dengan yoghurt.
Di Thailand, nasi enak itu beraroma melati. Di China, nasi lembek lebih difavoritkan. Sedangkan Jepang, lebih suka beras yang hampir mirip ketan.
Para pemuja nasi yang pernah pergi jauh, tidak terlalu memasalahkan perbedaan tersebut. Jika mampu mengaitkan konteks perbedaan kebiasaan, akan diterima dengan legawa.
Tetapi kalau fanatisme selalu dikedepankan, maka bisa jadi subjektivitasnya sudah terlalu mencengkeram kuat. Bahkan terlalu kuat.
Mereka yang telanjur memilih jalur fanatik, tidak mau memberi peluang sedikit pun terhadap perbedaan. Konsep keanekaragaman diperlukan agar tersedia banyak alternatif pilihan.
Bhineka itu tunggal ika. Berbeda kebiasaan adalah anak kandung kebudayaan. Itu juga butuh dilestarikan.