Di wilayah sekitar Jogja dan Solo, sejak kecil sudah terbiasa menikmati makanan manis. Rasa enak, identik dengan rasa manis.
Bagi mereka yang berpindah tempat tinggal ke kawasan lain, perlu menyesuaikan diri untuk tidak terlalu tergantung kepada yang manis-manis. Walau tetap saja masih merindukannya.
Selera rasa sebenarnya punya alternatif. Khasanah Jawa Kuna mengenalkannya sebagai keseimbangan harmonis. "Manis, asin, asam, pedas, pahit, dan sepet". Semua enak pada waktunya.
Kriteria enak atau tidak enak sangat dipengaruhi oleh gaya makan sehari-hari. Jika masih saja bersikukuh terhadap sensasi rasa manis, itu salah satu dampak dari Perang Diponegoro.
Cultuurstelsel, adalah kebijakan penanggulangan krisis ekonomi akibat perang berkepanjangan Pangeran jogja itu, antara tahun 1825 sampai dengan 1830an.
Jawa Barat wajib menanam teh. Jawa Tengah dan Jogjakarta menanam tebu.
Stok gula pun melimpah. Apalagi bisnis gula yang diawali dengan kebijakan pemerintah kolonial, beralih ke swasta. Malah raja pun merambah ke sana juga. Mereka bertambah makmur karenanya.
Sawah yang menghasilkan beras semakin menyempit. Bertanam tebu hasilnya legit. Produksi padi menurun. Kebutuhan karbohidrat digantikan oleh gula. Lauk pauk cenderung manis. Jajan pasar pun manis. Tak ada kebiasaan minum teh atau kopi tawar. Kopi sedap ya wajib bergula. Bahkan gudheg pun mirip manisan nangka.
Karena terbiasa, terbentuklah gaya budaya. Malah ada yang menduga, dari budaya itulah menimbulkan dampak ikutan. Persentase diabetisi pun meningkat.
Ada gula ada semut. Di balik rasa manis, memungkinkan datangnya rasa pahit. Kita merindukan yang manis-manis. Sering teledor, karena dampaknya bisa sangat pahit.