Ternyata generasi kita pasca tahun 60an lebih akrab dengan gandum, daripada dengan sumber karbohidrat zaman sebelumnya.
Era sebelumnya, sumber karbohidrat dipenuhi oleh tanaman sendiri. Beras, jagung, sagu, sukun, ketela pohon, dan ubi jalar.
Namun demikian, karena terjadi krisis ekonomi yang memburuk berkepanjangan sekitar tahun 1960an, terjadilah titik balik.
Pemerintah mendapat bantuan gandum, yang beban bunganya murah. Lagian, pinjaman berbunga murah itu dapat dikembalikan dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Karena itulah, saat ini hari-hari kita sudah terbiasa mengkonsumsi makanan serba gandum. Impor pun meroket naik. Mi dan roti merupakan sumber karbohidrat pokok.
Tetapi mereka juga mampu dijadikan penentu gaya hidup. "Ada saja produsen yang pintar sekali mengemas product development dan marketing", komentar teman yang bertempat tinggal di Bintaro Jakarta. Ia memberi contoh harga cake dan bubur sumsum. Walau harga bubur hanya tiga ribuan rupiah, yang dibeli malah cake.
Perilaku kelas menengah baru lalu menular. Mereka yang berpenghasilan di sekitar UMR pun pilih mengkonsumsi mi instant, daripada menanak nasi. Jajanannya ya roti.
Apakah ini memang proses akulturasi budaya yang berlangsung berdasar harmoni ?
Memang, saat ini dunia seolah telah hilang batas. Perubahan gaya hidup, melupakan kebiasaan yang telah terlebih dahulu mengakar.
Karena hari-hari sudah akrab dengan makanan yang serba gandum, maka generasi zaman now lebih tertarik terhadap jenis makanan yang serba instan. Praktis !