Kebudayaan sebenarnya melekat pada kegiatan manusia. Seperti pohon yang tumbuh, berbunga, berbuah, lalu tiada. Mereka eksis di mana-mana tidak hanya dengan satu cara.
Dalam khasanah kesuburan misalnya, khasanah keberadaan Dewi Sri pernah ada. Dewi Sri dijadikan lambang untuk bersyukur terhadap kesuburan tanah. Di tempat inilah manusia lahir dan kembali nanti.
Dewi Sri dilahirkan untuk menguji nafsu manusia. Ia sangat jelita, dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Dewi Uma.
Tetapi ternyata nafsu tetaplah nafsu. Bethara Guru sebagai rajanya para dewa pun masih mungkin bergelap mata. Lupa gengsi, lupa isteri. Walau sudah punya pasangan Dewi Uma, ia masih ingin yang lain juga.
Dewi Sri melihat gelagat nafsu itu. Singkat cerita, segala upaya nafsu lelaki digagalkannya. Hingga suatu ketika, Dewi Uma pun tahu gejolak nafsu birahi suaminya itu.
Air mata ibu asuh berderai-derai. Apalagi Dewi Sri. Setiap hari luh airmata bercucuran tanpa henti.
Dewi Sri akhirnya meninggal dalam keadaan suci. Kesuciannya lalu menjadi berkah, karena mampu menjaga kesuburan bumi.
Masyarakat pengolah tanah, memanfaatkan kesucian Dewi Sri untuk berpengharapan. Mereka berdoa, agar jerih payahnya ditopang oleh kesuburan bumi. Tanah, air, bibit, dan tentu bebas dari penyakit.
Sebagai perangkat pengingat, masyarakat pengolah tanah pun bersyukur. Dengan kekuatan budaya itu mereka berharap agar hasil panennya nanti melimpah ruah.
"Menjelang panen diadakan syukuran Nasi Wiwit. Lauknya sederhana saja, yaitu ikan asin gepeng atau gereh, lengkap dengan sambalnya", kata teman dari Jogja. Sedangkan teman dari Blitar, malah menguraikannya lebih detail lagi.
Budaya masyarakat pengolah tanah, penuh rasa sabar dan syukur. Mereka mengingatkan kepada diri sendiri, bahwa kesejahteraan punya asal usul. Bekerja keras, dan selalu ingat bahwa sikap melupa itu tidak baik. Jangan sampai terjadi :"Lali sangkan paraning dumadi".