Analogi itu perlu. Fabel juga perlu. Dongeng perumpamaan itu sebenarnya dibuat oleh manusia, untuk manusia. Kemudian lahirlah : hikayat Kalilah dan Dimnah, Makrifat Burung Surga, Kancil Nyolong Timun, Who Moved My Cheese, dan sebagainya.Â
Fabel, cerita tentang peri kebinatangan, mengambil tokoh tikus, bagaimana caranya menyisaati perubahan besar, seperti masa pandemi ini.
"Who moved my cheese ? " karya Spencer Johnson MD dimaksudkan bisa juga untuk bersiap menghadapi itu.
Perubahan, di mata tikus pengendus adalah kesempatan yang sangat berharga untuk menafsirkan tanda-tanda tentang hal terburuk yang akan terjadi.
Di benak tikus pelacak, tanda-tanda itu diurut hingga ke sumber pokok, apakah benar cadangan keju sudah hampir habis.
Tetapi usaha tikus pengendus dan tikus pelacak, dipandang tidak berguna. "Sudahlah nrima ing pandum" saja. Makanan itu pasti akan tersedia, seperti biasanya. Tikus yang merasa sudah nyaman, memandang kelompok tikus yang gelisah, tidak pandai bersyukur.
Ketika keju benar-benar habis, barulah ada tanda-tanda untuk berubah. Ada yang beradaptasi secara cepat, ada pula yang mbegegek pasrah tidak berikhtiar sama sekali. Yang terjadi, terjadilah.
Berubah itu sulit. Para penganut paham rutinitas selalu tidak siap menghadapi segala bentuk perubahan. Berubah itu sakit.
Contoh klasik tentang hal tersebut di atas adalah katak yang terbiasa dipeluk kehangatan air di bak percobaan. Begitu hangatnya disetel pelan-pelan ke suhu yang lebih panas, masih saja hilang kepekaan. Ketika mati terebus, ia hanya dikenang sebagai katak yang bernasib malang.