Ada beberapa kata yang paling Yati benci. Yaitu kata: "mati", "wafat", "tewas", "gugur" atau "meninggal dunia", dan yang searti lainnya. Kata-kata itu amat menggemetarkan jiwa raganya. Amat menghantui dan menerornya. Karenanya, Â semampu mungkin kata itu dihindarinya. Setiap mendengarnya, Yati atau Aryati Permatasari, buru-buru menutup telinganya atau menjauhinya. Kenapa?
Perasaan seperti itu dialaminya sejak kematian ayahnya. Dalam sebuah kecelakaan tunggal, ayahnya harus meninggalkan dirinya dan maminya untuk selama-lamanya. Padahal usia ayahnya itu masih terbilang muda, yaitu masih tiga puluh tujuh tahun. Karuan saja peristiwa itu amat mencabik-cabik hati remaja putri itu.
"Aku sangat mencintaimu dan menghormatimu! Bahkan amat membanggakanmu, Papi! Tapi ngapain sih, Papi kok tega banget ninggalin kami?" teriakan ketidakmengertian itu memang hanya menggema di hati Yati. Â Namun itu berlangsung berbulan-bulan lamanya.
"Katanya Engkau Mahakasih, Tuhan! Tapi kenapa kok Engkau terlalu cepat memanggilnya? Apa Engkau sudah tidak mengasihi aku dan Mami lagi?" pertanyaan bernada protes tersebut pun kerapkali masih juga mencuat dari jiwanya yang ringkih.
"Mami, pokoknya moge (motor gede) ini kudu dikeluarin dari rumah kita....!"
"Lho, ngapain sayang? Kan kalau kita kangen Papi, moge ini sedikit banyak bisa mengobatinya, sayang?" cegah halus maminya.
"Pokoknya aku kagak mau moge itu ada di sini, Mam! Mau dijual kek? Atau mau dikasikan orang, silahkan saja!"
"Dengarin ya sayang, moge itu kan nggak salah apa-apa? Dan lagi, itu adalah salah satu harta kesayangan Papi. Untuk membeli moge itu, tiga tahun penuh, Papimu harus menabung. Jadi ya harus kita jaga dong.....!"
"Moge itulah yang merenggut nyawa Papi, Mam! Coba kalau saat itu, Papi mau antar Yati ke kolam renang. Kan gak akan terjadi kecelakaan itu? Gara-gara beliau lebih pilih dan lebih seneng berduaan dengan mogenya, yah begitulah......."
Meski peristiwa tragis itu sudah setahun ini berlalu. Tapi "kabut kelam" yang menyelimuti wajah Aryati Permatasari masih belum mau berlalu. Kemurungan, kekuranglegawaan dan kehampaan telah menyedot habis pesona keremajaannya.
"Di mana kejelitaan dan keceriaanmu yang dulu, Yati?" hampir semua orang yang mengenalnya membatinnya seperti itu.