Mohon tunggu...
Bambang Suwarno
Bambang Suwarno Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mencintai Tuhan & sesama. Salah satunya lewat untaian kata-kata.

Pendeta Gereja Baptis Indonesia - Palangkaraya Alamat Rumah: Jl. Raden Saleh III /02, Palangkaraya No. HP = 081349180040

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mazhab Sastra Embuh

12 Juli 2019   10:28 Diperbarui: 12 Juli 2019   10:57 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Makin menua dan tampak kurus. Makin lamban dan cepat letih. Makin sulit tidur dan kadang sudah mulai amnesia. Itulah yang kutangkap dari kondisi fisik Hudi sekarang ini. Pria itu adalah sahabat lamaku yang berasal dari satu kampung denganku. Sekarang ini, ia berada di rumahku untuk mengunjungiku.

Setelah sepuluh tahun tak pernah bertemu, tentu saja kedatangannya menjadi satu reuni yang sangat mengasyikkan. Hampir semua obrolan kami, didominasi oleh kilas balik tentang cerita masa lalu. 

Yaitu saat ketika kami masih sama-sama tinggal di kampung. Penuh nostalgia masa muda. Sehingga rasanya kami berada kembali ke masa empat puluhan tahun yang lalu.

"Kudengar kamu mulai aktif nulis lagi, ya?" tanyanya padaku.

Itulah pertanyaan yang memang kutunggu-tunggu. Karena dugaan kuatku, tujuan utama bertandangnya ke rumahku, adalah pasti untuk ngobrol soal tulis-menulis -- khususnya sastra. Kenapa? Karena sejak di kampung dulu, aku dan Hudi sudah suka sekali menikmati karya-karya sastra Indonesia. 

Terutama puisi dan cerpen, kadang juga novel. Bahkan waktu itu, kami sudah mulai coba-coba belajar nulis sastra. Bahkan juga sama-sama punya mimpi, kelak ingin menjadi seorang sastrawan kondang.

"Ya Bang, aku nulis di Kompasiana. Sekarang kan sudah mulai punya banyak waktu luang, maka kugunakan untuk mulai nulis lagi," jawabku, "Yah, anggap saja untuk mengasah kembali kemampuan menulisku agar tidak jadi tumpul. Bahkan rencanaku, kalau sudah purna tugas, aku akan total menulis sampai mati...."

"Bagus itu! Mumpung kamu masih sehat, kejar terus mimpi-mimpimu, teman! Kalau sudah sepertiku sudah sangat susah. Mimpi masih menggebu, cita-cita tak pernah mati. Tapi kamu tahu sendiri, bahwa kesehatanku sudah sangat tidak mendukung....."

Sejak lima tahun terakhir ini, manusia lahiriah Hudi memang sudah makin merosot. Tapi passion sastranya sesungguhnya masih menggelora. Ada pertentangan yang hebat antara panggilan jiwanya dengan kompromi yang dilakukannya. Dulu, ia pernah kuliah di fakultas sastra. Tapi entah karena apa, tiba-tiba patah di tengah jalan.

Malah dalam perkembangan berikutnya,karena tuntutan tanggungjawab pada keluarganya, ia justru harus terjun mengerjakan proyek-proyek infrastruktur daerah. Ia harus jatuh bangun sebagai seorang kontraktor di dunia yang sama sekali keras. Penuh tantangan, persaingan dan sering harus berani untuk vivere pericoloso (hidup yang nyerempet-nyerempet bahaya). Akibatnya, ia sudah tak bisa nulis lagi. Seluruh waktunya ia habiskan untuk urusi proyek saja.

Itulah sebabnya, Hudi tampak lebih tua dari usianya. Meski dompetnya tebal, ia tampak sudah begitu rapuh. Apalagi tiga tahun terakhir ini, setelah ia mengidap komplikasi dari beberapa penyakit. Di tahun terakhir ini saja, ia sudah beberapa kali masuk dan rawat inap di rumah sakit. Bahkan sudah dua kali harus menjalani tindakan operasi.

"Sejak kapan kau mulai nulis di Kompasiana?"

"Sejak Desember 2018, Abang. Yah terhitung baru tujuh bulan ke sini."

"Sudah berapa banyak tulisanmu di situ?"

"Kemarin itu, pas tulisanku yang ke seratus. Maksudku seratus judul. Dibanding Kompasianer yang lain, aku masih tergolong 'penulis kemarin sore', Bang. Banyak yang sudah menulis ribuan judul artikel. Aku pun baru saja naik level ke Taruna. Sementara lainnya sudah banyak yang layak disebut 'Empu'."

"Kategori artikel apa saja yang sudah kamu tulis?"

"Paling banyak ya fiksi (cerpen dan puisi). Tapi kuselingi juga dengan bola. Dan selama kontestasi Pemilu kemarin sampai kini, aku juga ikut-ikutan nulis politik. Artikel politik dengan rasa prosa....."

"Lalu mazhab sastramu apa?"

"Wah, kalau soal mazhab atau aliran sastra, aku malah bingung, Abang!" jawabku sekenanya, "Kalau aku pengin nulis, ya nulis saja. Jadi apakah karya-karyaku termasuk ke aliran sastra ini atau itu, terus terang aku tak bisa menjawabnya, Bang. Kalau pun jawab, paling-paling jawabanku ya aliran sastra yo embuh....."

"Ya, jangan gitu dong! Kamu harus sudah tentukan itu. Supaya apa? Ya, supaya kamu bisa lebih fokus dan konsisten pada gaya khasmu atau jalur sastramu sendiri..."

Lalu dengan sangat semangat Hudi menyinggung kembali tentang para seniman sastra yang terkenal  Indonesia tempo dulu. Seperti Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, WS Rendra, Gerson Poyk, Mahbub Djunaidi,  Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, NH Dini dan nama --nama yang lain yang masih seangkatan.

Kemudian disebutnya pula penulis-penulis ngetop yang karya-karyanya baru  muncul tahun 1970-an. Seperti Arswendo Atmowiloto, D. Zawawi Imron, Darmanto Yatman, Emha Ainun Nadjib, Diah Hadaning, Hamid Jabbar, Korrie Layun Rampan, Ragil Suwarna Pragolapati dan  yang lainnya.

Bahkan para satrawan yang waktu itu, suka membuat eksperimentasi dalam karya mereka. Seperti misalnya, Iwan Simatupang, Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, Ikranegara, Leon Agusta, Yudhistira ANM Massardi, Remy Silado dan yang lainnya.

"Mereka semua itu, punya warna atau aliran sastranya sendiri," tambahnya, " Kamu ingat kan tentang aliran Idealisme, Materialisme dan Eksistensialisme. Yang dari ketiganya, lahir berbagai jenis aliran lain seperti Ekspresionisme, Romantisme, Surealisme, Simbolisme. Juga Realisme dan..........' Hudi tiba-tiba seperti tersedak. Tak mampu berbicara lagi.

Lalu tubuhnya lemas sekali, mau ambruk sambil kedua tangannya memegangi dadanya. Maka tak ada pilihan lain, kecuali dengan cepat aku membawanya ke rumah sakit terdekat. Puji Tuhan, di UGD Rumkit malam itu, salah satu dokter yang piket adalah dokter kenalan baikku sendiri. Jadi aku lebih tenang mempercayakan penanganannya kepadanya.

***

"Aku minta maaf kepadamu, karena telah sangat merepotkanmu. Juga aku sangat berterima kasih banyak atas hospitalitas yang luar biasa yang kamu berikan kepadaku." ujarnya setelah menikmati sarapan, sebelum persiapannya untuk pulang kembali ke kotanya, "Sebagai tanda rasa terima kasihku padamu, aku siap menjadi sponsor untuk penerbitan buku antologimu."

"Woauw...!" seruku bahagia setengah tak percaya, "Kalau gitu, sebelumnya aku ucapkan banyak terima kasih pula pada Abang! Kesediaan Bang Hudi menjadi sponsorku, adalah sebuah kehormatan sekaligus berkat besar bagiku..."

Lalu kujelaskan padanya perihal kebelumtahuanku terhadap mazhab sastraku, yang kemarin ditanyakannya padaku. Pertama, aku hanya sekadar seorang pekerja sastra saja. Atau hanya sekadar praktisi sastra yang masih amatiran. 

Sama sekali bukan seorang teoritisi ataupun pakar sastra. Itu pun kukerjakan masih sebagai aktifitas sampingan, karena aku masih aktif sebagai seorang hamba Tuhan. Jadi kalau aku pengin nulis, ya nulis saja. Tanpa mengerti tulisanku itu termasuk ke dalam aliran sastra apa.

Kedua, aku tidak bisa secara obyektif menilai diriku sendiri. Termasuk karya sastraku. Kalau didesak, paling-paling jawabku, aliran sastraku ialah aliran sastra -- Embuh (Entah). Jadi yang harus menilai itu, ya harus orang lain. Syukur-syukur yang nilai adalah kritikus sastra yang kompeten dan kredibel.

"Atau begini saja.Tolong nanti-nanti, Abang bisa luangkan waktu untuk membaca semua karyaku. Setelah itu, tolong Abang evaluasi dan analisis untuk Abang simpulkan. Tergolong ke dalam mazhab sastra apa tulisan-tulisanku itu. Itu pasti akan jauh lebih obyektif."

***

Siangnya, kuantar Hudi ke bandara. Sebelum berpisah, ia sempat menarikku untuk lebih dekat kepadanya. Lalu dengan lirih ia berkata: "Sebenernya selain untuk kangen-kangenan. Tujuanku ke sini, ialah untuk minta tolong kepadamu..."

"Minta tolong apa Bang?"

"Kamu kan punya jemaat wanita dewasa yang masih menjomblo."

"Iya, memangnya kenapa?" tanyaku penasaran.

"Sejak istriku meninggal dua tahun lalu, hidupku sangat sepi dan rapuh. Sebab itu, tolong carikan aku seorang wanita dewasa untuk kujadikan calon istriku....." jelasnya dan mesem.

"......................." aku ternganga dan speechless.

"Tidak harus yang masih perawan. Janda pun boleh....asal yang cantik...!" ia makin banyak mesam-mesem sendiri sambil melirikku.

==000==

Bambang Suwarno-Palangkaraya, 12-07-2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun