Puisi itu laksana bocah-bocah. Mereka perlu waktumu, keringatmu, otakmu, budi pekertimu, cubitan dan cintamu.
Kenapa? Karena mereka pun damba rawatan, didikan, belaian, dan arahanmu. Dahaga mereka menggelegak akan sentuhan estetikamu, pengalaman batinmu, kebesaran jiwamu, kelenturan imajinasimu dan ketinggian mimpi-mimpimu.
Puisi itu bak mawar melati. Mirip anggrek, Â kenanga, bougenvil, lili dan bunga-bunga elok lainnya. Di taman bunga jiwamu, mereka rindu siramanmu, rawatanmu, dan penataan sepenuh pedulimu.
"Ngapain kau buang-buang waktumu bikin puisi? Ngapain kau tergila-gila padanya? Apa yang kau dapatkan darinya? Tuh makan sajak-sajakmu?"
Cercaan dan umpatan seperti itu, kadang atau kerap, akan menampar harga dirimu. Cibiran dan nyinyiran dungu, juga bisa merendah-hinakan harkatmu.
Tapi biarkan saja mereka. Tak usah marah dan gusar. Tak usah ajak debat dan bersilat melawannya.
Lalu gimana? Teruslah berpuisi terang-terangan atau di bawah tanah. Indahkanlah celoteh bocah-bocah itu! Percantiklah paras bunga-bunga di taman syairmu! Kokohkan kualitas pesan-pesan amanatnya!
Maka hidupilah puisi-puisimu! Nikmati prosesnya. Di jagatnya tak ada yang instan.
Karena jika tak letih, karya hikmat dan intelektualmu, akan ganti menghidupimu. Akan mengangkat dan memuliakanmu. Akan melambungkan namamu setara bintang-bintang.
Lihatlah Victor Hugo dan Alexander Dumas senyum padamu. Tengoklah Sir Walter Scott dan Charles Dickens yang tak segan melirikmu. Malah Chairil Anwar dan"Si Burung Merak", WS Rendra pun ngakak di atasmu.
Sebab itu, terus hidupi puisi-puisimu! Agar kelak akan berkibar menghidupimu! Bahkan jadi warisan abadi bagi anak cucumu.
       ==000==
Bambang Suwarno -- Palangkaraya, 22-03-'19 Â