Mau tak mau, Yanes dan istrinya yang kupaksa untuk mendatangi istriku di rumah Borobudur. Sebagai pihak yang netral dan cukup disegani Rini, kuharap mereka bisa membantu meredakan prahara ini. Dan malam ini pula, pasangan suami istri bosku itu langsung meluncur ke sana.
"Maaf, Yo aku tak berhasil," kata Yanes via ponselnya,"Sudah kujelaskan panjang lebar padanya. Tapi tampaknya istrimu lebih percaya pada foto-foto itu."
"Atau bagaimana kalau aku resign saja dari pekerjaan? Mungkin dengan cara itu, Rini tak cemburu dan tak curiga lagi padaku...." Kulontarkan ide itu karena aku sudah seperti hilang akal.
"Mungkin saja itu pilihan terburuknya." Komentar Yanes, seperti putus asa juga.
                ***
Pagi ini, sesudah aku memanjatkan doa rutinku, pikiranku yang sebelumnya ruwet, tiba-tiba merekah cemerlang. Aku seperti diberi oleh Gusti Yesusku sebuah gagasan brilian. Maka, meski Debora baru saja berangkat ke rumah orang tuanya di ibukota, aku langsung menelponnya. Kujelaskan semua masalah pelik yang menimpaku. Kujelaskan juga, bahwa pemicu semuanya itu adalah menggelendotnya dia di lenganku lusa yang lalu.
"Wah, aku dong yang jadi penyebabnya? Baik, kalau begitu aku nanti yang memberi klarifikasi langsung ke Kak Rini."
"Makasih Deb! Tapi kapan kamu balik ke sini?"
"Ya setelah semua urusanku tuntas." Jawabnya enteng saja.
"Mohon usahakan secepatnya ya, Deb?"
"Oke, kutelpon saja Kak Rini sekarang juga. Akan kujelaskan apa alasanku merangkul lengan Mas. Dan sepulangku nanti, aku pun akan langsung menemui Kak Rini."