"Aku punya rencana yang bagus untukmu, Mi. Sesudah kamu ikut kursus Inggris sampai level intermediate, aku akan menikahimu. Sesudah itu, tahun depan kamu bisa masuk kuliah." Tinus meyakinkannya di sebuah kafe di dekat pasar, selepas mereka belanja.
"Mohon Om Tinus jangan bicara dulu soal pernikahan. Kita masih harus banyak berpikir dan berdoa. Saya ini siapa, dan Om Tinus itu siapa? Bukankah saya gadis yatim piatu yang tak terpelajar, dan seorang babu lagi. Sudah tua lagi. Bukankah masih sangat banyak gadis cantik dari keluarga terpandang...." jari telunjuk Tinus dengan cepat menutup bibir Naomi agar tak meneruskan perkataannya.
Pembicaraan berikutnya adalah penegasan Tinus. Bahwa ia samasekali tidak mempersoalkan latar belakang keluarga dan pendidikan Naomi. Ia justru ingin membantu penuh Naomi agar bisa mencapai semua cita-citanya.
"Umurmu baru dua tujuh tapi sudah kamu sebut tua. Aku lebih tua lagi Mi, sudah tiga puluh empat tahun. Sebab itu, kita harus segera menikah! Kalau sekarang aku tampak seperti memaksamu, itu karena aku tidak main-main Naomi! Aku serius!"
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, tiba-tiba keduanya sudah saling berpelukan beberapa saat lamanya. Akibatnya, baju bagian dada Tinus basah oleh air mata bahagia Naomi.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari penuh bunga di hati mereka berdua. Penuh harapan, penuh gairah dan penuh keindahan. Meski itu masih mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi.
Tapi sayang seribu sayang, jalinan hati yang baru saja dirajutnya, harus hancur berpuing-puing karena dihamtam badai raksasa. Dan badai itu bernama -- ketidak-setujuan ibu Tinus -. Sebab ibunya ternyata sudah punya calon yang sudah dipersiapkan lama.
      ***
Setahun Berikutnya
Setelah sekitar satu dasawarsa tak pernah bertemu dan kerkomunikasi lagi dengan guru agama SMA-nya, secara mengejutkan tiba-tiba siang ini, Naomi berjumpa kembali dengan mantan guru yang sangat dikaguminya itu.Â
Peristiwanya terjadi di depot makan miliknya di sebuah kawasan wisata ibukota. Siang itu, Pak Teguh Raharjo masuk depotnya untuk makan siang. Maka mengalirlah kebahagiaan di hati keduanya pada perjumpaan yang tak terduga itu.