Sebagaimana juga termafum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 dan Nomor 13 Tahun 2005. Namun kondisi ideal itu belum sepenuhnya bisa mewujud. Disisi lain di ranah ideologi Transparansi dan partisipatif dalam bidang komunikasi informasi dan perdagangan bebas, kehadiran negara sebagai lembaga kontrol justru dianggap sebagai penghambat. Kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara, telah terdegradasi oleh hegemoni kapital (multinational corporations).
Meskipun disisi lain televisi komersial kemudian bersiasat dengan merepresentasikan dan berlindung dibalik masab pemikiran yang menyatakan: "bahwa manusia tengah memasuki era dimana batas-batas budaya tidak lagi jelas (post-modernisme). Batas antara realitas (reality) dan citraan (image) juga semakin tipis.
Dua hal penting yang diingatkan Baudrillard tentang Post-Modernisme adalah kepentingan dalam pemahaman dekonstruktif yang lebih menekankan pada penentangan segala bentuk otoritas, pengekangan, dan pembatasan agama, aturan, hukum. Sedangkan cara pandang konstruktif memberikan penghargaan secara positif terhadap keanekaragaman, dialog, heterogenitas, multikulturalisme dan pluralitas.
Penegasan itu dapat dipahami pada Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005. Tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Publik yang menyatakan harapan bahwa pengelola televisi dapat memberikan penghargaan terhadap ruang publik (public sphere) semacam.
Minimalnya dengan memberikan hak kepada penonton untuk memperoleh informasi yang benar (right to know) dan menyampaikan pendapat atau aspirasi (right to express). Masyarakat penting ditempatkan sebagai warga negara (citizen) tanpa meninggalkan fungsi media sebagai identitas nasional (flag carrier). Dengan demikian masyarakat sebagai 'apresian' dan 'aktor' diberikan kesempatan berpartisipasi sebagai pelaku dan penonton aktif.
Reposisi Khalayak Penonton
Masyarakat selama ini masih terasa menjadi 'penonton pasif' (objek) yang aspirasi dan peran sertanya belum diakomodir secara proposional. Merubah posisi dan relasi masyarakat sebagai 'penonton pasif' menjadi 'penonton aktif' (subjek) adalah persoalan yang tidak mudah.
Selama televisi bersikap eksklusif tanpa diberi frame perundang-undangan yang tegas, maka masyarakat yang lengah mengindentifikasikan dirinya terhadap mainstream televisi, akan terjerat dalam 'jaring laba-laba televisi'Â (baca: Industri Digital Media Internet dan Televisi) Komersial)Â yang anonim itu. Sebuah gambaran lemahnya posisi masyarakat yang secara sosiologis dan kultural kehilangan karakter jatidirinya atau hak partisipasinya.
Persoalan ekonomi, sosial, politik dimasyarakat, harus disikapi dengan pendekatan budaya partisipatif yang mensyarakatkan dua hal : identifikasi peranserta serta iventarisasi kebutuhan masyarakat. Beberapa persoalan yang muncul berkaitan dengan peran televisi sebagai media budaya, dapat disebut:
1. Kurangnya program televisi mewakili realitas yang ada dalam ikut mengembangkan persoalan sosiokultural sekaligus melakukan wacana penyelesaian masalah (problems solving). Termasuk kurangnya fungsi edukasi acara televisi komersial/swasta, dikarenakan tidak melibatkan masyarakat secara langsung.
2. Kurangnya SDM dan lembaga yang mau peduli untuk menciptakan program yang memiliki nilai pesan mewakili persoalan Kebudayaan.
3. Lemahnya kontrol kritis terhadap media, khususnya televisi swasta dari masyarakat penikmat (publik) dalam mengolah informasi.
Terbukti sampai saat ini televisi komersial terus menaburkan mimpi lewat banyak programnya. Meskipun secara institusional ketiga peran tersebut telah diwakilkan KPI-KPID, namun itupun akan dirasa kurang tanpa partisipasi peran serta dan sikap kritis khalayak warga masyarakat.Â
Pada 'ketidak berdayaan' masyarakat semacam, selayaknya Lembaga Penyiaran Publik TVRI memilih posisi strategis untuk merangkul kembali masyarakat pemirsa sebagai subjek dan aktor dari proses pelayanan publik di bidang media informasi. Tentu prasyaratnya bukanlah segampang membalik tangan. Dibutuhkan internalisasi nilai untuk menjangkau eksternalisasi yang kemudian dilanjutkan menjadi objektivasi. Sebagai sarana membangun interaksi sosiokultural. Diharapkan kesadaran berbagai fungsi pembangunan akan menambah dinamika model pendekatan budaya partisipatif semacam.
Demokrasi deliberatif adalah model demokrasi yang legitimitasi hukumnya diperoleh dari diskursus yang terjadi dalam dinamika masyarakat sipil. Partisipasi masyarakat dalam membentuk aspirasi dapat dihargai secara setara. Pandangan Jurgen Habermas (1992), mengenai Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik, mendeskripsikan demokrasi deliberatif sebagai model demokrasi yang melahirkan aturan hukum yang legitimasinya bersumber dari kualitas prosedur deliberalisasi. Bukan saja dalam lembaga-lembaga formal negara (seperti parlemen), tapi juga yang terpenting dalam masyarakat secara keseluruhan.