Mohon tunggu...
Bambang J. Prasetya
Bambang J. Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Media Seni Publik

Yang tak lebih dari sekedar bukan: Penggemar dolan-dolin, penikmat ngopa-ngupi, penyuka tontonan menuliskan bacaan dan pemuja Zirpong. Demi menjalani Praktik Media Seni Publik: Television Film Media Program Production Management, Creatif Director, Creatif Writer, Script Writer Screenplay. Supervisior Culture and Civilization Empowerment Movement Yayasan KalBu Kalikasih dan Fasilitator Kalikafe Storyline Philosophy. Penerima Penganugerahan Penulisan Sinematografi Televisi: Anugrah Chaidir Rahman Festival Sinetron Indonesia FSI 1996. Penghargaan Kritik Film Televisi Festival Kesenian Yogyakarta FKY 1996. Nominator Unggulan Kritik Film Televisi FSI 1996, 1997 dan 1998. Sutradara Video Dokumentari: Payung Nominator Unggulan FFI 1994, Teguh Karya Anugrah Vidia FSI 1995, Teguh Srimulat Nominator Unggulan FSI 1996, Tenun Lurik Anugerah Vidia FSI 1996. Ibu Kasur Anugerah Vidia FSI 1996. Terbitan Buku: Suluk Tanah Perdikan Pustaka Pelajar 1993, Ritus Angin Kalika Pers 2000, Kumpulan Cerpen Negeri Kunang-Kunang Kalika Pers, Adhikarya Ikapi dan Ford Foundation 2000, Dami Buku Trans Budaya Televisi terlindas Gempa 2006. Kumpulan Esai Berselancar Arus Gelombang Frekuensi Televisi Kalikafe Storyline Philosophy 2022. Beberapa tulisan termuat dalam: Antologi Puisi Jejak 1988, Antologi Esai FKY 1996, Antologi Puisi Tamansari FKY 1997, Antologi Serumpun Bambu Teater Sila 1997, Antologi Embun Tanjali FKY 2000. Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan BBY 2012, Antologi Puisi Cindera Kata: Poetry on Batik 2018 dan Trilogi Sejarah Perkembangan Teater Alam Indonesia 2019. Wajah Wajah Berbagi Kegembiraan Paguyuban Wartawan Sepuh, Tembi Rumah Budaya, Tonggak Pustaka 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bunuh Diri: Teror Maut Yang Disengajakan

6 Juli 2022   15:48 Diperbarui: 11 Juli 2022   18:07 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

#14

Menghormati Kematian Berdamai dengan Kenyataan


"Saya telah hidup dengan bayang-bayang kematian dini selama 49 tahun. Saya tidak takut mati, tetapi saya tidak ingin buru-buru untuk mati. Saya memiliki banyak hal yang ingin saya lakukan lebih dulu."
~ Stephen Hawking ~

SUDAH sekian waktu tergoda gelisah, ingin menuliskan arti "kehilangan", sebagai kata ganti penyebutan "kematian ". Entahlah mengapa dorongannya begitu kuat. Semacam mengalami availability bias (bias ketersediaan) atau kecemasan terhadap terulangnya suatu peristiwa yang memungkinkan dapat terjadi lagi. Respon emosional berlebihan tersebut membekas menjadi ingatan yang dalam sampai pada tataran pemikiran atau kepikiran.

Sebagai orang yang dibesarkan di tengah budaya tradisi Jawa rural, perasaan semacam itu biasanya lalu dihubungkan dengan 'tanda' dan 'pertanda'. Menandai atau niteni yang dalam kultur jawa biasa disebut ngelmu titen.

Kehilangan, hampir bisa dipastikan semua orang pernah mengalami, apapun itu, dari kehilangan hal yang paling sederhana sampai sesuatu yang luar biasa. Bahwa kemudian cara penyikapannya berlainan, itu juga sudah pasti. Tidak serta merta dapat digebyah uyah atau digeneralisasi. Disadari ukuran sendal, sepatu, celana dan baju aja setiap orang berbeda-beda. Apalagi hasrat, impian, maksud, tujuan, sasaran, dan orientasi hidup tentulah tak sama. Begitulah hakekat keragaman sejatinya, mendasarkan pada perbedaan individu senyatanya.

Perasaan kehilangan, bagi kebanyakan anak laki-laki pada umumnya, ditinggal ibu itu hal yang paling berat, Extremely Heavy; amat sangat berat. Membutuhkan waktu yang relatif cukup lama untuk sembuh, mungkin juga, rasa sakit yang tak akan pernah usai. Berbeda sebaliknya, ketika seorang anak perempuan kehilangan bapak. Tetes air matanya pun menjadi semacam doa istighfar sepanjang helaan nafasnya.

Pengalaman itulah yang merambaskan larik tulisan mengalir sedemikian rupa entah kemana bermuara. Tanpa bermaksud apapun, kecuali menafsirkan vibrasi getaran yang tertangkap. Selain faktor empiris, pemantiknya dimatangkan pula oleh kepungan beragam informasi dari berbagai peristiwa yang disajikan bermacam media. Korban jiwa wabah, pandemi, perang, kerusuhan, bentrokan, perkelahian, kelaparan, kecelakaan, dan yang paling menyedihkan serta menyakitkan dirasakan adalah ketika mendapati berita bunuh diri. 

Anggap saja itu assosiasi, persepsi, impresi, interpretasi atau imajinasi. Perasaan yang menyentak ketika ikut terlibat secara emosional, tentang arti kehilangan. Suasana yang agak rumit untuk didefinisikan, selain puisi. Sebab yang tersisa dari kehilangan  hanyalah kenangan. Begitulah lazimnya cinta menjadi "nyawa" dari bahasa dan ikatan antar sesama manusia yang oleh karenanya dapat terhubung "bersenyawa". Melintasi semua batasan agama, suku, ras, negara, bangsa, usia dan jenis kelamin, karena kehilangan bersifat universal dan manusiawi, tak terkecuali. 

Sementara ini bunuh diri masih menjadi masalah serius di seluruh dunia. Berbagai riset menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1,5 juta orang di seluruh dunia meninggal karena bunuh diri. Indonesia pada tahun 2020 jumlah kematian bunuh diri mencapai 9.000 kasus. Data Kepolisian Indonesia, menyebutkan terdapat 671 orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Sedangkan BPS mencatat 5.787 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri.

Kasus bunuh diri kini tengah menjadi perhatian dunia internasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kemenkes, melansir kejadian bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius saat ini. Jumlah kematian akibat bunuh diri di dunia berdasarkan laporan terakhir WHO Global Health Estimates diperkirakan mencapai satu kematian setiap 40 detik. Artinya, ketika ada satu orang meninggal karena bunuh diri, diperkirakan terdapat 20 kasus percobaan bunuh diri pada saat yang bersamaan. Bunuh diri menyumbang 1,4 persen kematian seluruh dunia dan merupakan ranking ke-18 penyebab kematian terbanyak yang mendominasi negara berpendapatan rendah dan menengah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun