Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rethinking dan Resolusi Menuju Indonesia Emas 2045

5 Januari 2023   21:00 Diperbarui: 9 Januari 2023   07:16 1893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Melihat Indonesia Emas 2045. (sumber: Kompas.com/Wicak Hidayat) 

Jumlah partai yang semakin banyak itu membutuhkan dana yang sangat besar yang tidak mungkin semuanya dapat diakomodir oleh APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Akhirnya para kapitalis lah yang menjadi capital resources-nya. Oligarki politik sesungguhnya hanya merupakan proxy saja, sedangkan oligopoli media, dan oligopoli lainnya bisa dikatakan merupakan dampak turunannya (dy/dx).

Jeffrey A. Winters menyatakan bahwa praktik oligarki akan membuat demokrasi semakin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Salah satu pandangan Prof. Winters dari Northwestern University ini yang disampaikan di beberapa media, bahwa sikap gotong royong dan musyawarah mufakat yang dibanggakan bangsa Indonesia menurutnya hanya seperti satire kata indah dari kartelisasi, yang pada intinya tidak lebih dari bagi-bagi kekuasaan. 

Walaupun demikian, tetap kita harus berhati-hati dalam menyikapi pernyataan tersebut, namun ada baiknya untuk direnungkan kembali selama demi kebaikan dan kemajuan bangsa ini (constructive feedback).

Kebodohoan (stupidity) menembus persepsi dan praktik politik kita sehari-hari (kehidupan berpolitik). Faktanya kita sering menuduh politisi, birokrat, jurnalis, pemilih, 'elit', dan 'massa' atas kebodohan mereka (Otobe, 2021). Bukan hanya 'politisi populis', 'jurnalisme sensasional', dan 'pemilih yang berpendidikan' yang dituduh melakukan kebodohan. 

Tuduhan serupa dapat, dan pada kenyataannya, dibuat terhadap mereka mengkritik mereka juga. Tampaknya kebodohan ditemukan di mana-mana, tidak dapat dihindari atau dikaitkan dengan satu posisi politik tertentu, sifat pribadi, atau bahkan ketidaktahuan dan penalaran yang salah.

Menurut teori stupidity ini, melakukan penyelidikan teoretis tentang kebodohan artinya menantang asumsi bahwa kebodohan dapat dihindari. 

Kebodohan yang ada di mana-mana menyiratkan ketidakterhindarannya, bahwa kita tidak dapat memasukkannya ke dalam domain seperti kesalahan, ketidaktahuan, atau 'pasca-kebenaran' (post-truth). Apa yang kita saksikan adalah penalaran seseorang bisa masuk akal, berdasarkan bukti, dan kebodohan.

Dalam mengungkapkan keniscayaan ini, kebodohan merupakan masalah yang tak terhindarkan tidak hanya dalam berpolitik, tetapi juga dalam berpikir. Kita menjadi bodoh karena kita berpikir; tidak mungkin membedakan pikiran bodoh yang apriori dari pikiran lurus. 

Selain itu, kegagalan untuk mengatasi kebodohan yang tak terhindarkan membawa teori politik pada kegagalan untuk mengakui momen-momen produktif yang terkandung dalam pengalaman kebodohan. Saat-saat produktif seperti itu merupakan potensi kebodohan, bahwa ide-ide baru yang radikal dapat muncul dari pemikiran kita yang tampaknya dangkal dan bodoh dalam aktivitas politik kita sehari-hari.

Kemudian, dalam konteks ini, salah satu politisi senior kita yang terkenal mengingatkan; dalam 'kebodohan' pun harus tetap ada rasa demokrasinya. Berterimakasih dan sangat setuju dengan pandangan tersebut. 

Namun, bagi para pembaca yang semakin pintar dengan diversity yang semakin kompleks, memiliki latar belakang pendidikan serta literasi baca yang berbeda, masih sering kali keliru memaknai suatu kata atau terminologi adopsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun