Mohon tunggu...
Bambang Hermawan
Bambang Hermawan Mohon Tunggu... Buruh - abahnalintang

Memungsikan alat pikir lebih baik daripada menumpulkan cara berpikir

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Malaikat Kegelapan

20 November 2020   10:53 Diperbarui: 20 November 2020   10:56 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu malam sehabis hujan mengguyur bumi tempat bernaung musafir akhirat, kumandang takbir adha bergeming menggema, terdengar di setiap sudut penjuru kehidupan. Alunannya mengisi kekosongan otak manusia kolong yang redup yang selalu merindukan matahari, dinamikanya menggetarkan hati, sampai terasa menyayat dan memaksa untuk segera merebahkan diri sejenak dan mengingat dosa per dosa yang telah dilakukan. Meski dari semua takbir yang terdengar, tak seluruhnya melahirkan dampak pemahaman akan yang dilafalkannya, namun takbir tetaplah mengusik hati yang terdalam.

Tanpa disadari dalam raungan gema takbir, kujur lemah Yanto terkapar letih, berbaring terlentang di atas permadani tempat perebahan sejenaknya dan lelap dalam tidurnya yang tak diselimuti oleh mimpi yang selalu diangankannya. Dia lelap dalam tidurnya tanpa ingat bahwa ada satu kewajiban yang belum sempat ditunaikannya, mungkin karena rasa lemas yang melanda tubuhnya sudah tak bisa lagi diajak berkompromi. Tidur ya tidur, ga bakalan ingat yang belum dikerjakan, apalagi yang akan dikerjakan. Layaknya mengingat masa depan. Jangan pun mengingat masa depan, mengingat masa lalu pun sulitnya bukan main.

Kepulasan dalam tidur, melambangkan adanya gerakan yang dilakukan jauh sebelum tidur. Orang yang tidur lelap tidak akan terganggu oleh bunyi apapun yang bersuara menampakkan diri, meski bunyi-bunyinya itu ada di sekitarnya. Orang yang tidur lelap hanya bisa dibangunkan dari keterlelapan tidurnya, oleh bunyi yang dimaksudkan membuyarkan dari keterlelapan tidurnya itu. Begitu juga dengan Yanto, dia terperanjat dari keterlelapan tidurnya pada dini hari, waktu terdengar pintu kamarnya dibuka oleh ayahnya dan berkata: "Bangunlah nak, kamu belum shalat isya, shalatlah dulu, setelah shalat, silahkan kamu lanjutkan lagi tidurmu yang lelap itu". Yanto pun, segera bergegas menuju toilet untuk mengambil air wudhu.

Yanto berdiri tegak mengarah ke arah kiblat, tampak wajahnya cerah yang melahirkan ketenangan dari raut mukanya seakan hatinya merasa khidmat dan tenang menikmati suasana dini hari yang tidak terlihat ada orang namun suaranya ada. Suara-suara itu tidak mengganggu konsentrasi Yanto yang sedang khusyu melaksnakan kewajibannya yang tertinggal. Selesai shalat, dia pun baringkan lagi dirinya, dan hilanglah dia bersama nyamuk malam yang sudah tuntas memenuhi kebutuhannya.

Pagi pun tiba.

Yanto segera menuju lapangan untuk melaksanakan shalat idul adha, dengan ada rasa cemas di hatinya, takut tidak kebagian tempat duduk. Sesampainya di lapangan, dia terheran karena melihat pemandangan yang tidak seperti biasanya. Dalam hatinya bergumam, "gak kaya biasanya, setiap hari raya, matahari belum terbit pun orang sudah ramai, berdesakan mencari tempat duduk untuk melaksanakan shalat dan mendengarkan ceramah dari seorang pemuka agama yang terjadwalkan. Tapi idul adha kali ini, matahari sudah menampakkan mata pun, masih belum terlihat banyak orang. Ada apa dengan kondisi religi masyarakat kampungku?".

Imam mulai berdiri, mengajak untuk mulai melaksanakan shalat. Selesai shalat, imam naik ke atas  mimbar yang sudah disiapkan. Mulailah imam menyampaikan isi ceramahnya. Dari isi ceramah yang disampaikan, ada ucapan yang benar-benar masuk ke dalam pikiran Yanto, sampai dia pun hafal betul kata-kata yang diuraikan oleh si imam itu. "sudah menjadi pemandangan biasa yang tidak meninggalkan keanehan bagi yang memandang, ada yang berangkat dari barat ke timur, ada yang dari timur ke barat, ada juga yang berangkat dari selatan ke utara, dan ada juga yang dari utara ke selatan, dengan waktu pemberangkatan yang tidak sama. Kalau ditanya, mau ke mana mereka pergi? Dan mau mencari apa?" Tentunya memerlukan sejenak menajamkan pikiran untuk menjawab pertnyaan ini.

Ungkapan inilah yang benar-benar mengena di pikiran Yanto, walaupun tidak sepenuhnya dia memahami dari apa yang didengar saat isi ceramah itu disampaikan. Selesailah shalat idul adha, namun yanto masih merenungkan sebagian isi ceramah yang menempel di pikirannya. Sambil berjalan menuju rumah, dia terus memikirkan maksud dari isi ceramah yang dia dengar. Sesampainaya di rumah, handphone menjadi sasaran utama yang diambilnya.

Mulailah Yanto menulis sms. "Mer, tahu gak di langit gelap yang sebentar lagi menyiramkan air hujan, ada makhluk yang memandang hilir mudik manusia yang berangkat dari barat ke timur, dari timur ke barat, dari selatan ke utara, dan dari utara ke selatan, seakan ingin melontarkan tanya, mau pergi ke mana? Dan mau mencari apa? Kamu tahu gak siapa mahluk itu?".

Sms pun dikirim ke Meri, dan tak lama kemudian handphone Yanto bergetar, ada pesan yang masuk. Setelah dibuka, ternyata balasan dari Meri.

"Malaikat kegelapan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun