Mohon tunggu...
Vox Pop Pilihan

Sorotan: DKJ Tunjuk Pembicara Kuratorial Teater Tak Kompeten

20 Agustus 2016   12:25 Diperbarui: 22 Agustus 2016   17:54 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) melaksanakan kegiatan dengan menggunakan dana dari pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Dana tersebut berasal dari pajak warga Jakarta yang kebanyakan dari industri hiburan yang dianggap "seni rendah" dan bukan "seni elite" di TIM--yang menyerap anggaran tinggi tapi tidak menghasilkan pendapatan alias tekor.

Sesuai prinsip good governance, semua kegiatan yang menggunakan dana publik perlu dimonitor akuntabilitasnya. Prinsip tersebut sayangnya belum dilakukan dengan baik terkait kegiatan-kegiatan DKJ, baik oleh pihak DKJ, pemerintah DKI maupun LSM dan komunitas-komunitas seni di Jakarta. Misalnya, untuk apa saja dana publik tersebut digunakan serta adakah jumlah dana yang digunakan cukup sesuai dengan kualitas kesenian yang ditampilkan--adalah sebagian kecil pertanyaan yang perlu dialamatkan kepada para pemangku kepentingan di DKJ.

Dunia kesenian bukan dunia yang tenang dan orang-orangnya juga bukan orang-orang suci. Namun, berbeda dengan dunia politik yang biasa berkonflik di ruang terbuka, dunia kesenian lebih memilih meredam sikap kritis satu sama lain di lingkungan internal. Jika hanya menggunakan dana private sikap semacam itu tak masalah, namun jika menggunakan dana publik maka hal tersebut merupakan sikap yang tidak etis dan tak bertanggung jawab.

Salah satu kegiatan DKJ yang sedang mengundang banyak komentar di kalangan seniman adalah diskusi tentang Ngobrol Kuratorial Teater Masa Kini yang akan diselenggarakan pada Sabtu, 20 Agustus 2016, pukul 17.00 WIB di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki.

Sesuai penjelasan di situs DKJ: Program ini bertema Ngobrol Kuratorial Teater Masa Kini, membicarakan mengenai kurasi teater di Indonesia belum memiliki alur kuratorial sebagai lembaga pembacaan ruang sejarah maupun pengetahuan. Kerja kuratorial dalam dunia teater, memang jauh lebih lambat dibandingkan dengan kurasi atas seni rupa di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tidak terlalu banyaknya lembaga festival teater di Indonesia dengan kerja kuratorial sebagai hasil pembacaan atas pencapaian-pencapaian kerja teater, perbandingan antarfestival, konteks ruang sejarah, jaringan kurasi maupun pembacaan atas kualitas publik.

Adapun tema dan pembicaranya adalah: (1) Pembacaan kerja kuratorial 3 kota: Berlin, Brussel, dan Amsterdam oleh Sartika Dian Nuaraini. (2) Pengalaman kerja kuratorial dari Forum Lenteng dan perspektifnya dalam dunia teater oleh Akbar Yumni. (3) Sebuah pengantar tentang kerja kuratorial oleh Ferdi Firdaus. Moderator oleh Taufik Darwis.

Di balik penjelasan DKJ yang terlihat canggih dan rumit tersebut, hal mengherankan adalah ketiga pembicara di atas adalah orang-orang yang tidak memiliki kredensialitas di bidang teater, belum cukup kredibilitas serta jam terbang di dunia teater, dan lebih menyedihkan lagi bisa dikatakan ketiganya bukan orang yang bergiat di teater. Sebagai buktinya masih sangat sedikit hasil pentas (kalau bukan malah tak ada) maupun karya-karya penelitian mereka di bidang teater.

Dalam penelusuran di internet, Sartika Dian Nuraini pernah kuliah sastra Inggris di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), tulisan-tulisannya berupa kolom ringan tantang banyak topik di samping puisi-puisi di blog pribadi, pernah tinggal di Jerman untuk mendamping Afrizal Malna (yang sekarang menjabat sebagai Ketua Komisi Teater DKJ) selama residensi negeri itu.

Pembicara lain, Akbar Yumni, adalah alumni Universitas Muhammadiyah Malang dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, bergiat di Forum Lenteng dan komunitas film Arkepel. Tidak ada rekam jejak sebagai pengamat, peneliti, apalagi aktor, sutradara dan produser teater. Aktivitasnya lebih di dunia film dengan rekam jejak yang masih sangat sedikit untuk kapasitas di DKJ. Sedang pembicara terakhir adalah Ferdi Firdaus yang paling sedikit aktivitas dan capaiannya di dunia teater.

Dengan kapasitas para pembicara yang meragukan seperti di atas, wajar jika muncul pertanyaan terkait kredibilitas DKJ dan khususnya Komisi Teater.

Adakah karena seseorang adalah istri atau pacar, teman dekat atau kolega Ketua Komisi Teater lantas diberi posisi sebagai pembicara di DKJ? Hal tersebut sangat disayangkan manakala sosok yang telah berada di DKJ tidak bisa membedakan relasi pertemanan dengan kelembagaan. Lebih disayangkan karena telah merugikan publik teater mengingat inkompetensi pembicara, apalagi kegiatan itu menggunakan dana rakyat Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun