Mohon tunggu...
Balqis Zahra
Balqis Zahra Mohon Tunggu... lainnya -

"Good Bad Who Know"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalbu Cinta bagian 2 (2)

20 Maret 2013   14:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:29 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya maaf karna saya baru bisa menyempatkan untuk posting, dikarenakan sedang sibuk ujian akhir-akhir ini, semoga semuanya menyukai yaa :) salam..

....

Hari ini tak ada yang aneh, nama Muhammad Zubair, nama yang seolah-olah menetap dalam hati enyah dengan sendirinya. Bahagia betul aku saat ini, hingga tak terasa jam menunjukan pukul 22.00, cukup lama aku duduk di teras depan, menikmat secangkir teh hangat ‘sendiri’ tanpa ayah maupun ibu, macamnya mereka paham atas kemauanku untuk merenungi hal-hal tepatnya kejadian yang selama ini menimpaku. Yaaa.. Memang harus begitu.

Dzikir, yang terucap keluar dari mulutku memenuhi malam yang tak berembulan dan tak berbintang, macamnya rembulan sangat enggan memperlihatkan dirinya sebagai penyempurna malam, namun.. malam yang gelap ini nampaknya dapat meregangkan syaraf-syarafku yang lama menegang.

Tiba-tiba, terdengar sebuah lantunan lagu terindah dan tak pernah mati apalagi terdua, ‘Shalawat Nabi’ lagu indah yang takan pernah terasa kosong. Tak bisa disamakan dan dibandingkan, lagu yang hanya umat Islam miliki. Lagu yang menyelinap halus disela-sela kesibukan. Lagu yang mencairkan hati para enggalau , lagu yang senantiasa melidungi kita diakhir zaman Insya’allah.

Lama sudah aku terbuai, ku sempurnakan kembali posisi dudukku. Melihat siapa yang bershalawat, “Ayah ! ” kejutku  melihat ayah.. Aku yang masih belum fasih berbicara setelah dari sakit hanya dapat ikut bershalawat dalam hati. Terasalah sempurna malam ini, walau tak  berbulan apalagi berbintang elok.

Ayah mengambil duduk disebelahku, dan berhenti bershalawat “Tak tidur ? apa masih memikirkan Muhammad Zubair ?” Tanya ayah menerjang “Ti..ti..dak kok.. yah, Nab mera..sa tak ba..ha..gia ! yah..?”padahal kata-kataku menggantung lidah yang terasa sangatlah kelu untuk berbicara. Macamnya aku harus banyak berlatih sekarang. “Nak..” ayah mengelus kepalaku yang terbalut kerudung cokelat muda, seketika itu lanjutkan kata-katanya ang sempat dipotong “Bahagia itu ialah dapat memenuhi desakan hatinya..” gumam ayah.

Aku memaksa otakku mencerna kata-kata tadi. Lamunanku memikirkan sesuatu   yang kiranya apa yang mendesak dalam hatiku. Desakan yang halus dan kasar keluar mendapatan kemauanya.

Namun..desakan terkuat yang macamnya harus dituruti hanya satu. Ya ! aku memang harus pergi dari Muhammad Zubair, setidaknya menjauhkan mata dan hati ini darinya.

Pendapat itu macamnya nanti akan membuat sedih ibu dan ayah, tapi hanya ini mauku. Lama duduk, aku bangkit berjalan ke teras depan. Menggapai  sebuah tiang penyangga, aku berfikir kemana kiranya aku harus pergi  jauh dari kak Zubair. Seketika itu aku menoleh kebelakang dan menatap wajah ayah yang kian hari semakin menua.

Melihat raut wajahnya aku seperti tak sanggup pergi  jauh darinya. Sangat tidak sanggup, namun.. kemauanku itu terus mendesak  hingga aku coba rundingkan kemauanku pada ayah.

Ku kembali keposisi awal dikursi sebelah ayah. Aku coba menjelaskan semua mauku pada ayah. Minatku nyatanya ditanggapi dengan perbedaan pendapat.

“Nak ! Mesir itu jauh, Ayah merelakanmu jika mau pergi dari halaman rumah sempit ini. Ayah relakan kamu meninggalkan setiap petakan tanah yang nantinya ayah wariskan untukmu. Ayah dan ibu relakan kau tinggalkan kami hingga membusuk menunggumu” kata-kata yang begitu menyentuh menggores hati. Aku menunduk dan menangis sekonyong-konyongnya.

“Kau hanya boleh meninggalkan kota ini, bukan Negara ini apalagi benua ini ! Ayah tak rela, sungguh ayah takkan merestui keinginanmu itu”

Tangisanku semakin menjadi, aku ingin menggapai sebuah harapan. Harapan dimana Ayah dan Ibu merestuiku pergi jauh, ya.. mengadu nasib. Apa iya aku  terlalu egois ?. ku berfikir, sudah susah payah ayah dan ibu membesarkanku mana mungkin begitu enteng melepaskannya.. ya aku tak boleh egois.

“Tidur nak sudah malam” terdengar nada suara ayah yang berat mengkaku.

Ya.. jika keadaan terus begini, mau tak mau aku harus bercurhat pada guru ngajiku, Uztad Azhar kerap dipanggil ‘Ayah Azz’ oleh kami para santrinya. ayah Azz, selain baik dan guru yang sangat bijaksana dan penuh kesabaran ia juga sering bertukar pikiran dengan kami para santrinya, ayah Azz selalu memberi ceramah yang seakan-akan menerangi jiwa, dan hanya pada dia aku sering menceritakan hal yang sanngat kurahasiakan atau meminta pendapat untuk semua yang aku lakukan.

Lalu.. aku berjalan menyusul ayah, untuk selanjutnya membaringkan badan di kasur yang tidak empuk itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun