Mohon tunggu...
Anna R.Nawaning S
Anna R.Nawaning S Mohon Tunggu... Konsultan - Writer , Sociopreneur , Traveler and Education Enthusiast

Menulis -/+ 40 buku solo dan antologi-fiksi dan non fiksi diterbitkan oleh berbagai penerbit. Sertifikasi Penulis Non Fiksi BNSP http://balqis57.wordpress.com/about

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ramadan Era Pandemi Teringat di Negeri Kiwi

9 April 2023   22:46 Diperbarui: 9 April 2023   23:28 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alangkah bersyukurnya kita dapat melaksanakan ibadah Ramadan setelah melewati masa berat pandemi selama hampir 3 tahun.

Ramadan tahun 2020 dan 2021 banyak yang merasakan "tersiksa" karena melaksanakan ibadah tahunan tanpa bersama keluarga, kerabat, sahabat atau rekanan yang tidak tinggal dalam satu rumah. Tak ada sholat Tarawih berjamaah di masjid, tak ada buka puasa bersama di tempat umum dengan ceria, tak ada bagi-bagi makanan sahur atau berbuka di jalan-jalan beramai-ramai. Berlanjut tak ada sholat Ied bersama di lapangan terbuka apalagi bersilaturahmi saling berkunjung dan makan bersama. Pemakaman yang biasanya di saat lebaran tumpah ruah manusia saat itu bertambah sunyi orang berziarah.

Sebaliknya, media sosial semakin riuh. Tidak sedikit yang berkeluh kesah dan sedih karena tertundanya silaturahmi mereka. Semula saya sok ikut-ikutan merasa sedih dengan tidak dapatnya sholat Tarawih berjamaah dan buka puasa bersama dengan orang-orang tak serumah, apalagi ulang tahun saya di masa lockdown pandemi itu saat bulan Ramadan.


Tiba-tiba ingatan saya terlempar ke masa kuliah di Auckland Selandia Baru. Hey, bukankah Ramadan seperti ini pernah saya alami beberapa kali? Bahkan secara psikologis lebih terasing dari karantina masa pandemi!
Saya pernah tinggal di Auckland Selandia Baru. Pernah merasakan 4x Ramadan di kota pusat bisnis dan teramai di Selandia Baru. Ramadan pertama saya masih tinggal sistem homestay di rumah seorang dosen wanita Pakeha (orang Selandia Baru berkulit putih atau bukan suku Maori). 

Beliau tidak menikah dan 2 kamar lainnya selalu terisi oleh pelajar asing sekolah bahasa Inggris tempatku belajar. Teman homestay saya berasal dari Switzerland. Saat bulan Ramadan, beliau berkeberatan jika saya memasak atau berkutat di dapur pada sepertiga malam alias waktu sahur. Waktu buka puasa di sana pada pukul 9 malam, saat kami sudah harus masuk ke kamar masing-masing untuk tidur malam. Kami biasanya makan malam jam 6. Sungguh "terasing" bukan? 

Karena inilah saya sering batal puasa di bulan Ramadan. Ketika itu belum banyak muslim/muslimah dari Indonesia yang saya kenal. Masyarakat atau pelajar Indonesia di Auckland yang saya kenal mayoritas beragama non muslim. Saat Idul Fitri hanya 2 orang muslimah yang melakukan sholat Ied. Saya bersama Rika, teman asal Indonesia. Itupun kami menjadi "tontonan" dan panitia sholat mendadak menyediakan space shaf untuk kami sholat Ied berjamaah di dapur! 

Tak ada ketupat atau makanan khas lebaran. Saat itu masih menggunakan telepon genggam bukan android sehingga kami harus bergegas menghubungi keluarga di Indonesia untuk mengucapkan lebaran. Itupun harus menunggu karena perbedaan waktu antara kami dan Indonesia adalah 6 jam. Siang itu tak ada libur, kami kembali ke campus siang harinya. Belajar seperti biasa karena tak ada tanggal merah di hari  lebaran.
Pernah Ramadan dan Idul Fitri serta Idul Adha saya sudah tinggal di flat bersama dengan teman asal Indonesia. 

Namun tetap tak ada rasa bahwa selama sebulan merupakan bulan Ramadan. Semua seperti hari lain, setiap hari kantin campus ramai oleh mahasiswa yang makan siang atau sekedar minum sambil bercanda. Restaurant atau kedai makanan yang kami lewati juga ramai. Tak ada teman, hanya sendiri yang berpuasa. Tak ada adzan yang mengingatkan saat imsak atau Maghrib. Lebaran juga demikian. Kami tetap masuk kelas untuk belajar, tak ada malam takbiran, tak ada sanak keluarga yang dekat dengan kami. 

Namun Alhamdulillah saat lebaran terakhir saya di sana, sudah banyak masyarakat Indonesia muslim muslimah di Auckland Selandia Baru sehingga membentuk komunitas dan menyewa tempat untuk sholat Ied bersama. Alhamdulillah saya bisa melakukan sholat Ied berjamaah, walaupun setelah sholat saya langsung bergegas ke campus karena pagi itu ada kelas mata kuliah utama yang wajib hadir. Tidak ada makan-makan hari raya, siang itu saya tetap makan siang di kantin campus.

Karena itu-lah saat Ramadan di masa pandemi kemarin saya tidak merasa sedih jika tidak merasakan suasana Ramadan dan Idul Fitri. Semua lebih baik, karena kami bisa bersapa dan bersilaturahmi melalui zoom atau video call tanpa khawatir tagihan telpon yang melonjak, masih bisa berkunjung ke rumah keluarga lain walaupun menjaga jarak bermeter-meter (berjarak ribuan kilometer pernah saya alami!), bahkan beruntun orang-orang mengirimkan makanan yang saya suka saat pandemi. Terutama saya masih jelas mendengar suara adzan setiap waktu sholat tiba.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun