Mohon tunggu...
Baldus Sae
Baldus Sae Mohon Tunggu... Penulis - Dekonstruktionis Jalang

Pemuda kampung. Tutor FIlsafat di Superprof. Jurnalis dan Blogger. Eks Field Education Consultant Ruangguru. Alumnus Filsafat Unwira. Bisa dihubungi via E-mail baldussae94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Narasi Cinta buat Ibu

6 Desember 2020   13:36 Diperbarui: 6 Desember 2020   13:58 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Natal kini hampir tiba. Penghujung tahun kian mendekat. Ibu tahu kan merayakan natal dan tahun baru dalam kesederhanaan di rumah sungguh sangat dinantikan? "Kapan pulang nak? Uang tiket sudah ada belum? Buah Naga di samping rumah hampir matang. Jangan lupa bawakan ibu baju bekasmu." Ibu selalu punya cara memanggilku pulang, merayakan rindu di gubuk tua.

Masih kuingat jelas, menjelang wisuda ibu minta untuk datang menyaksikan prosesi wisuda. Sempat kurancang strategi untuk melihat ibu tersenyum bahagia di hari wisuda. Kala itu, di tengah kesibukan mengerjakan skripsi, saya berjuang memenangkan kompetisi menulis tingkat nasional. 

Apapun yang terjadi saya harus juara. Tujuan saya satu. Trofi dan sertifikat juara nantinya harus saya serahkan ke kampus. Dengan demikian, saya akan mendapat penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi di hari wisuda nanti. Betapa ibu akan tersenyum bahagia mendampingiku menerima penghargaan nantinya. Usahaku ini berbuah manis. Karyaku masuk dalam nominasi terbaik.

Satu minggu sebelum hari wisuda tiba, ibu sudah persiapkan banyak hal. Kepada beberapa kerabat ibu tanyakan perihal prosedur naik kapal, nanti di tengah laut kalau kapal oleng harus bagaimana, wisuda itu seperti apa dan sebagainya. Kepada ibu kujanjikan tiket pesawat untuk pulang nantinya. Tentang kejutan itu, sangat kujaga kerahasiaannya. Pintaku satu. Ibu harus tersenyum bahagia di hari wisudaku nanti.

Semesta ternyata berkehendak lain. Sehari sebelum keberangkatan ke Kupang, ibu jatuh pingsan hingga tak sadarkan diri. Dua puluh empat hari lamanya ibu bergulat melawan maut. Tak ada suara, senyum dan tawa keluar dari mulut ibu. Kenyataan ini sungguh pahit untukku hadapi. Perjuangan kita untuk bisa tersenyum bersama berakhir sia-sia. Saya harus menggandeng orang lain, menemaniku menerima penghargaan. Dan kita hanya bersuara rupa di dunia maya lewat video call, sementara ibu masih tidak sadarkan diri. Hingga akhirnya ibu pergi, tak sepotong kalimat pun terucap dari mulut ibu. Ibu pergi tanpa meninggalkan pesan terakhir.

***

Ibu memang tidak pernah mengantongi selembar ijazah. Pernah mengenyam pendidikan tapi hanya sampai kelas III SD. Terkendala biaya, ibu akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah. Ibu lebih memilih bekerja membantu orangtua dan mengurus adik-adiknya. "Andai saja saya sekolah terus mungkin sekarang sudah jadi orang", ungkapnya dalam salah satu kesempatan.

Kendati tidak paham banyak hal soal pendidikan, ibu punya visi besar untuk pendidikan kami anak-anaknya. Apapun yang terjadi ibu harus menyekolahkan kami sampai meraih gelar sarjana. Ibu dan ayah rela makan seadanya, tinggal di gubuk bambu dan berhutang sana sini yang penting kami harus sekolah.

Ibu sekolah pertamaku. Ibu mengajarkan banyak hal tentang hidup. Pengorbanannya untuk menyekolahkan kami sungguh luar biasa. Baginya pendidikan adalah hal utama yang harus diperjuangkan. Baginya, berhutang untuk biaya pendidikan tidak masalah. Dalam banyak kesempatan, ibu sering menasihati kami demikian "belajar yang rajin nak, jangan pikir uang. Itu tugas kami orangtua".

***

Natal kini hampir tiba. Penghujung tahun kian mendekat. Buah naga di samping rumah sudah ada yang matang. Ingin rasanya segera pulang, temui ibu di kampung halaman. Merayakan rindu dan cinta di gubuk tua kita. Membawakan ibu kain batik sebagai kado akhir tahun. Ibu, rindu ini sungguh berat. Rindu yang tak mungkin dibalas sebab ibu telah pergi untuk selamanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun