Mohon tunggu...
Baldus Sae
Baldus Sae Mohon Tunggu... Penulis - Dekonstruktionis Jalang

Pemuda kampung. Tutor FIlsafat di Superprof. Jurnalis dan Blogger. Eks Field Education Consultant Ruangguru. Alumnus Filsafat Unwira. Bisa dihubungi via E-mail baldussae94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilgub NTT dan Independensi Lembaga Penyelenggara

7 Mei 2018   21:55 Diperbarui: 11 Mei 2018   02:08 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.facebook.com/OfficialiNews/?rf=837128546419496

Kontestasi politik menuju "NTT I" kian memanas. Hampir di semua pelosok dan ruas jalan raya di NTT kita menjumpai baliho dan gambar para paslon. Masing-masing menebar pesona senyum terbaik disertai visi -- misi yang tentunya konstruktif untuk NTT yang lebih baik. 

Geliat promosi diri ini tidak hanya melalui pemasangan baliho dan gambar di ruas-ruas jalan dan tempat-tempat strategis tapi juga aksi lapangan yang kian intens dan massif. Tidak heran jika di banyak tempat, entah itu ruang kuliah, pasar, pangkalan ojek atau bale-bale kampung orang berbicara politik. Tentang siapa yang bakal keluar sebagai pemenang di kontestasi politik lima tahunan ini.

Terhitung sejak 16 Februari 2018, para paslon menggelar kampanye resmi di berbagai zona sebagaimana telah ditetapkan KPUD NTT. Dalam kurun waktu 129 hari kampanye yang adalah waktu normatif yang ditetapkan penyelenggara pilkada, masing-masing paslon bersama mesin partai pendukung dan tim sukses bakal berjuang semaksimal mungkin menjumpai rakyat, calon pemilih. Perjumpaan politik dalam rangka mendulang suara ini, tentunya disertai  pemaparan visi misi dan program strategis dalam menyikapi berbagai persoalan di NTT, yang tentunya dikemas sedemikian rupa dalam beretorika di panggung kampanye.

Sah-sah saja hal ini dilakukan, selagi masih dalam koridor sebagaimana ditetapkan pihak penyelenggara (KPUD NTT).  Hal lain yang perlu perhatikan di sini adalah bagaimana dengan keterlibatan warga nantinya? Apakah proses kampanye yang gencar dilakukan hari-hari ini mampu memantik kesadaran warga untuk turut terlibat aktif dalam pemilihan nantinya? 

Tentunya ini merupakan tugas dan tanggungjawab berat para penyelenggara perhelatan demokrasi di NTT ini. Menyimak warta Pos Kupang, Kamis (01/03) bahwa partisipasi pemilih di Kabupaten Belu pada Pilkada 2015 yang tergolong rendah (63,55 persen), mestinya menjadi awasan kita bersama agar hal serupa tidak terjadi di Pilgub NTT kali ini.

Terkait rendahnya keterlibatan pemilih ini tentunya disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya; kurangnya sosialisasi yang berakibat pada minimnya informasi lengkap mengenai calon pemimpin, kesibukan pribadi warga, keengganan dan apatisme masyarakat dan atau kredibilitas lembaga penyelenggara yang tidak berkepastian. Terkait alasan terakhir yang dikemukakan tadi, memang patut disayangkan jika benar-benar terjadi. Kepercayaan publik pada proses dan hasil pemilu tidak bisa dilepaskan dari kualitas penyelenggaraan. Integritas, netralitas dan bersihnya penyelenggara pemilu menjadi kunci yang paling menentukan kualitas kontestasi yang tidak sedikit menelan biaya ini.

Kasus penangkapan anggota Komisi Pemilihan Umum dan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut, Jawa Barat yang diduga menerima suap dari salah satu tim sukses terkait penetapan paslon, beberapa waktu lalu, hemat saya mestinya menjadi awasan dan bahan refleksi pihak penyelenggara Pilgub NTT juga. Tanpa berpretensi menggeneralisir kasus Garut ini dengan semua pihak penyelenggara pemilu di Indonesia, dan bahkan menyejajarkannya dengan kualitas penyelanggara Pilgub NTT, saya mempunyai kecemasan tersendiri. Bukan tidak mungkin hal serupa bisa terjadi, mengingat kekuasaan memiliki kecenderungan menyimpang.

Mengacu pada hasil jajak pendapat Litbang Kompas mengenai integritas penyelenggara pemilu (Kompas, 05/03), sebanyak 41,6 persen responden mengaku tidak puas dengan kerja Bawaslu dalam mencegah praktik money politics. Dalam mencegah dan menindak pelanggaran pemilu/pilkada, sebanyak 26 persen responden mengaku tidak puas dengan kerja Bawaslu. 

Sementara untuk KPU, dalam menjalankan asas mandiri dalam menyelengggarakan pemilu, 21,7 persen responden mengaku tidak puas. Terlepas dari masih mendominasinya jumlah responden yang mengaku puas dengan kinerja KPU dan Bawaslu secara keseluruhan, "angka miring" tersebut, hemat saya merupakan bukti independensi lembaga penyelenggara yang tidak dapat dipercaya sepenuhnya.

Keraguan terhadap kesungguhan, kemampuan dan independensi KPUD akan sangat berpengaruh pada animo masyarakat untuk turut berpartisipasi memberikan hak suaranya nanti. Kredibilitas dan independensi lembaga penyelenggara yang merosot berdampak pula pada merosotnya nilai demokrasi yang adalah spirit kontestasi ini. 

Spirit demokrasi, dengan mana menempatkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan mengungkapkan dirinya dalam pengaturan penyelenggara kekuasaan bakal menjadi teori agung tanpa praksis di negeri ini. Sungguh sangat disayangkan bila kedaulatan rakyat dikerangkeng demi kepentingan parsial segelintir elit politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun