Mohon tunggu...
Baldus Sae
Baldus Sae Mohon Tunggu... Penulis - Dekonstruktionis Jalang

Pemuda kampung. Tutor FIlsafat di Superprof. Jurnalis dan Blogger. Eks Field Education Consultant Ruangguru. Alumnus Filsafat Unwira. Bisa dihubungi via E-mail baldussae94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masihkah Kita Berdaulat?

8 Maret 2018   23:59 Diperbarui: 9 Maret 2018   00:09 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita tentang kebobrokan para wakil rakyat seumpama sinetron tanpa akhir episode. Narasi yang tersaji di setiap episode memang tidak jauh berbeda. Tidur waktu sidang soal rakyat, itu biasa. Bahkan "ruang rakyat"  hampir tidak pernah lengkap ketika sedang ada sidang dewan tidak jadi masalah. Korupsi di rumah rakyat hingga triliunan rupiah, seolah mentradisi. Meski alur cerita setiap episode hampir mirip, rakyat tidak pernah jenuh menyaksikannya. Panggung sandiwara di negeri ini memang ajaib.

Edisi terkini dari "sinetron rakyat" adalah "Super Power DPR" yang dirilis 12 Februari 2018 di Istora Senayan, Jakarta. Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan kewenangan legislasinya untuk menambah kewenangan lembaga dan memberikan hak imunitas. Revisi atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) ini ditengarai menjadikan lembaga perwakilan rakyat memiliki kekuatan luar biasa. Super power. Dengan kekuatan itu, bukan tidak mungkin rakyat ditindas habis-habisan. Pertanyaannya, apa mungkin kita masih berdaulat atas Negara ini?

Langkah absurd DPR ini tentunya berpotensi mematikan demokrasi. Revisi UU MD3 ini sangat boleh jadi dapat ditafsir sebagai upaya para wakil rakyat untuk menghidupkan kembali sistem pemerintahan otoriter. Rakyat harus tunduk sepenuhnya kepada penguasa. Segala bentuk kritik yang merendahkan marwah lembaga perwakilan rakyat dan anggota-anggotanya,  tidak diperkenankan karena ada dasar hukum yang mengaturnya. Ya, demokrasi bakal benar-benar menemui ajalnya dengan ditetapkan dan disahkannya UU ini.

Menyikapi langkah absurd DPR dan konsekuensi lanjut dari revisi UU MD3 tersebut, tentu perlu kita memiliki kejelasan sikap. Beberapa waktu lalu, pasca penetapan hasil revisi UU No. 17 Tahun 2014 ini, sebagaimana dilansir sejumlah media lokal NTT, puluhan mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira -- Kupang menggelar aksi di Kantor DPRD NTT (28/02) menolak hasil revisi UU MD3 ini. Hemat saya, aksi mahasiswa yang adalah bentuk tanggungjawab moral, sosial dan akademis  mahasiswa ini, dapat membangunkan kita dari tidur indah, bahwasannya ada persoalan bangsa yang menuntut keterlibatan kita semua.

Kontroversi terkait hasil revisi UU No. 17 Tahun 2014 ini karena ada sejumlah pasal dalam UU tersebut yang dinilai janggal. Pasal 73; DPR lewat bantuan Polri berwenang memanggil paksa setiap orang yang tidak datang karena dipanggil dengan ancaman sandera maksimal 30 hari. Miris memang. Bayangkan Polri yang adalah lembaga penegak hukum dijadikan boneka oleh DPR untuk menjalankan keputusan politiknya. 

Tidak hanya itu, DPR yang kekuasaannya dimandatkan hanya oleh rakyat berbalik menyadera sang pemberi mandat (rakyat). DPR seolah menegasi kedaulatan di negeri ini, bukan rakyat tetapi DPRlah yang berdaulat atas rakyat.

Pasal 122, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa bertindak atas nama DPR dalam mengambil langkah hukum atau langkah lainnya kepada siapa yang merendahkan kehormatan dewan dan anggota-anggotanya. Bukan tanpa soal pasal ini. Bahwasannya tugas MKD menegakkan etik para wakil rakyat dan sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencemaran nama baik, tidak diperhatikan DPR dalam memasukan pasal ini. Apa urgensi dari pasal ini? Kok MKD dijadikan watch dog-nya DPR dalam rangka menjaga marwah lembaga dan anggota-anggotanya?

Kejanggalan lain yang sekaligus menimbulkan ketakutan terbesar dari pasal ini adalah soal "merendahkan". Pertanyaan kita ialah merendahkan dalam arti apa? Saya takut polemik semisal meme untuk Setya Novanto, aksi demonstrasi mahasiswa dan sejumlah kritik publik lainnya sangat boleh jadi interpretasi DPR dan proses soal ini akan sangat subjektif. Kritik bakal dibaca sebagai upaya perendahan martabat DPR. Semestinya, demokrasi yang sehat tidak menutup diri terhadap kritikan masyarakat. Mengingat kekuasaan memiliki kecenderungan menyimpang. Oleh sebab itu, suara kritis masyarakat dalam mengontrol jalannya kekuasaan tidak dibenarkan untuk dibungkam.

Pasal 245, pemeriksaan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden setalah melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan. Lagi-lagi menimbulkan masalah. Soalnya ialah bahwa dalam Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014, tertera jelas bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana hanya perlu mendapatkan izin tertulis presiden. 

Dengan pengecualian, untuk kasus tindak pidana khusus, bisa langsung dipanggil aparat penegak hukum.  Dan bukan tidak mungkin akan ada konspirasi di dalamnya demi melanggengkan kekuasaan dan atas nama citra lembaga dan manusia-manusia di dalamnya.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa dengan direvisinya UU MD3 ini DPR bakal memiliki kekuatan yang tidak tertandingi lembaga manapun dan juga rakyat sang pemberi mandat sekalipun. Montesquieu bakalan sedih menyaksikan hal ini. Telah sejak lama ia mengingatkan manakala kekuasaan berada di satu tangan, makhluk politik bisa menjadi buas, keras, tiranik, lalim, despotis dan absolut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun