Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

49 Hari Setelah Pengumuman Pemindahan Ibu Kota Negara

24 Agustus 2019   01:26 Diperbarui: 27 Agustus 2019   18:06 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini hanya berisi lima persen dari apa yang dapat dikatakan, sisanya tidak diungkapkan. Ada banyak sekali tulisan saya tentang wacana diskursus pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Setelah merevisi berkali-kali dan mempertimbangkan banyak aspek, maka saya membuat judul dengan tema 49 Hari Setelah Pengumuman Pemindahan Ibu Kota Negara.

Tulisan ini pun lebih baik disalahpahami dari pada dipahami. Sebab, membutuhkan rasa subtil kedalaman batin paling bijaksana mungkin sampai pada tahap pemahaman.

diambil oleh penulis
diambil oleh penulis
Pengumuman wacana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2019 (tanggal tersebut saya menulis artikel dengan judul perjamuan terakhir). Dan besoknya 17 Agustus 2019 di Istana Negara ada pentas Wadian Dadas, dan Wadian Bawo. 

Memang jika memakai logika hal ini bisa-bisa saja, karena memang sebagai bentuk kebijkasanaan pemerintah dengan segala macam alasan pemidahan ibu kota.

Tetapi sesungguhnya pada aspek metafisik ini bukan peristiwa biasa, melainkan ada makna semiotika hermeneutika yang melampaui apa yang tampak dalam indra manusia.

Pentas Wadian Kaharingan Dayak (Dadas dan Bawo) pada upacara 17 Agustus 2019 di Istana Negara merupakan jawaban metafisik (abnormal) di mana dalam waktu bersamaan ada pengumuman dari penggawa negara memindahkan Ibu Kota Negara.

Berikut ini makna, sekitar lima persena saja, pada trans-substansi makna tersebut:

Tema dan Tarian Wadian Dadas dan Bawo, dan Giring-giring, adalah pentas untuk ritual adat Dayak. Di mana pada pentas tersebut adalah pada tatanan sadian welum atau siklus kehidupan. 

Namun sayangya, yang dipertontonkan wujud upacara [mie_empu, dalam bahasa Dayak]. Atau acara penyembuhan manusia sakit jiwa dan sakit raga. Jadi kegunaan [telos] tarian ini sebenarnya adalah penyembuhan dari penyakit.

Lalu apa maknanya secara metafisika?

[1] Secara ontologi makna umum adalah lebih baik ibu Kota sekarang ini, Jakarta, disembuhkan. Tidak usah pindah ke mana-mana.

Atau dengan kata lain, kehadiran Wadian di Istana adalah wujud lain pesan metafisik kekurangsetujuan atas pemindahan Ibu Kota ke Borneo. Justru Wadian menghendaki jika masih bisa sembuh lakukanlah rekonsiliasi batin, jiwa raga kota yang sudah ada.

Makna [2] Penari Tertua di antara Tim Tari Hyang Dadas bernama Russella Narpan Apoi: simbol penari yang merepresentasikan gerak, dengan tidak membawa batang daun atau pohon atau ranting hidup. Tetapi justru tameng menghindari musuh perang. Membawa api ["Apoi"] simbol kemarahan, pada ketidaktahuan atau ketidakpahaman umat manusia. 

Jika membawa daun atau ranting atau hanjuang hidup, maka ada potensi pemindahan IKN bisa sukses dalam skala berabad-abad, misalnya, 490 tahun lagi atau abadi. Tetapi sayang simbol tersebut tidak ada, maka saya prihatin.

Atau makna lain supaya lebih banyak bahwa jika mau memindahkan IKN maka jangan ceroboh, jangan asal-asalan, ini perkara besar, dan tidak seperti membangun jembatan atau jalan tol atau bendungan.

Muruah negara menjadi pertimbangan harus melibatkan banyak aspek: lengkap, penuh, dan jangan gegabah. Api simbol cahaya terang akal budi yang paripurna.

Makna [3] kehadiran Hiyang Wadian dengan menginjak dan membawa 3 buah Gong adalah simbol 3 provinsi di Pulau Borneo. Untuk memberikan sinyal metafisik di Istana Negara menjawab pertanyaan mau ke Borneo mana IKN dipindahkan. 

Jika Kalimantan Timur ada wangsa Kudungga atau Tanah Hukum Karma, maka sudah seharusnya kita untuk jujur. Jika tidak jujur habis bangsa ini. Itu isi sumpah Kudungga (ingat 7 prasati Kutai Kartanegara, dan 7 tahun sejak dibukanya Taman Nasional Bukit Soeharto; 7 tahun kemudian di hari yang sama beliau lengser dari tahta).

Lalu apabila ke Kalimantan Tengah di situ ada pusat Kekusaan Tombang Anoi (simbol keberanian yang mematikan namun sedang tidur atau semacam singa tidur). Apakah ingat 1 juta hektare lahan gambut yang gagal total di Kalteng?

Namun bila ke Kalimantan Selatan, di sini sayangnya, lebih tidak cocok secara metafisik. Lagu Hiyang Wadian Nansarunai Usak Jawa masih terus berbunyi di sini atau dengan kata lain tidak kondusif secara sejarah, ada luka batin alam bawah sadar yang belum dipulihkan. 

Maka memindahkan IKN pada 3 provinsi tersebut sesungguhnya secara metafisik dalam jangka panjang, secara simbol, bermakna gong kematian atau kegagalan [mohon maaf]. Bisa dipindahkan tetapi sayangnya syaratnya tidak dipahami, iya bisa terjadi reinkarnasi Hambalang Jilid 3.

Tulisan ini bukan kritik semata-mata tetapi dapat dilihat pada partisipasi publik agar negara tidak jatuh dalam kesalahan yang mestinya tidak boleh terjadi.

Saya tidak menyalahkan siapapun, karena mungkin saja ketidakcukupan pemahaman sehingga keputusan memindahkan IKN menjadi gagasan yang menguat dan serius.

Bapak Presiden yang baik itu saya yakin memutuskan dengan rekomendasi dan pertimbangan para ahli yang mungkin melewatkan pengalaman sejarah bangsa secara utuh dalam dimensi yang lain; atau lupa diri.

Makna [4] kehadiran Hiyang Wadian di Istana Negara memerlukan jawaban dalam waktu 49 hari sejak di pentaskan acara tersebut.

Mengapa angka 49 muncul?

Dalam dokrin Wadian sejak upacara (mie_empu), maka 49 hari adalah acara menarik (buhul). Menarik atau buhul adalah cara Wadian Dayak Kaharingan menghitung hari (7x7 hari); berpuasa laku prihatin dengan diikat depan pintu tangga rumah agar selalu ingat: jarak acara ritual dengan penyembuhan atau rekonsiliasi jiwa raga dari semua penyakit, kesalahan, atau kebodohan.

Artinya para penggawa negara sebagai pasien Hiyang Wadian akan mengalami ujian atau siksaan atau rekonsiliasi batin menuju recovery atau pemulihan.

Supaya kongkrit, maka 49 hari kerja sejak 17 Agustus 2019 wujud pemulihan itu adalah mengkaji ulang seluruh wacana dan rencana pemindahan ibu kota IKN dengan teliti dan netral. Jika ini yang dilakukan artinya ibu kota tidak usah pindah, tetapi sembuhkan saja yang sudah ada ini.

Pada 49 hari waktu memutar ulang jiwa raga secara jernih melihat soal penyembuhan Jakarta.

Jakarta banjir, macet, a, b, c, d, kalau itu masalahnya, mari diselesaikan, begitu kira-kira pesan metafisik Wadian Hiyang Dayak yang dipanggil ke Istana.

Atau dengan kata lain, "Kalau Jakarta rusak, ya perbaiki. Tapi ini menjadi alasan pindah?"

Jika pindah ke Borneo maka akibatnya masa depan IKN tidak menjadi solusi. Apalagi era modern, semua berbasis teknologi, tidak perlu boros anggaran Negara, apalagi melibatkan swasta membangun. Nanti terjadi lagi reinkarnasi Stadion Utama Bung Karno yang tanah diambil swasta padahal asalnya milik negara.

Jika alasanya karena Jawa menghadapi krisis ketersediaan air bersih, ancaman gempa, rawan banjir, dan kondisi tanah yang turun seharusnya dipulihkan, dan justru menjadi tantangan Istana Negara menyelesaikan masalah tersebut.

Jadi apakah para penghuni Istana lari dari masalah adalah baik atau etis? Hiyang Wadian menjawab jelas tidak.

Kalau alasan pemeratan ekonomi tidak semudah itu seharusnya. Negara bisa membangun pusat enterprenur, bangun infrastruktur, dan berikan kemudahan akses ke perbankan, atau berikan subsidi pajak di Borneo dan atau sarana perhubungannya dengan pulau lain, juga negara lain. 

Coba bandingkan effect negative dengan  2 atau 3 juta transmigrasi professional pindah ke Borneo, bagimana dampak kesenjangan muncul dan konfik sosial hadir.

Apalagi penggawa negara belum membuat hitungan matematis dampak pemindahan IKN pada Produk Domestik Bruto (PDB) riil secara nasional sampai 49 tahun atau 300 tahun ke depan.

Makna [5] kehadiran Hiyang Wadian di Istana Negara membutuhkan waktu 49 hari sejak di pentaskan, yakni 17 Agustus 2019 unutk menjawab atas hal-hal yang mengandung situasi-sitausi ketegangan hingga peristiwa tidak diduga yang wujudnya bisa macam-macam sehingga cukup membuat umat manusia terheran-heran dan panik.  

Sambil menunggu 49 hari yang jatuh pada tanggal 19 Oktober 2019 tepat pada hari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024. Hitungan hari yang sudah ada belum banyak diketahui umat manusia secara metafisik. Tetapi Hiyang Wadian Kaharingan sudah menjawab semuanya ini.

Dan  sejak lima hari lalu sampai hari ini, terjadi kebakaran di Gunung Merapi dan di sekitar Prasasti Soeharto Kali Putih.

Bukankah diskursus saya pada tulisan di Kompasiana tentang perlunya rencana pemindahan IKN untuk bertanya kepada para Mantan Presiden Indonesia yang sudah meninggal dan dua tokoh lain yang sangat memahami.

Dan satu jawaban yang bisa saya sampaikan adalah simbol Merapi adalah terbakar. Artinya simbol metafisik sudah menjawabnya.

Sisa Presiden lain atau 2 tokoh lainnya jawabnya sudah ada, tetapi saya tidak sampaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun