Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refleksi HUT 74 Tahun Indonesia, Episteme Sebuah Kekejaman

16 Agustus 2019   12:37 Diperbarui: 16 Agustus 2019   12:39 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi jauh sebelum "postmodernisme" menjadi mode, Adorno dan Horkheimer menulis salah satu kritik modernitas yang paling banyak muncul di kalangan intelektual Eropa yang progresif. Dialektika Pencerahan adalah produk dari pengasingan masa perang.

Dialektika Pencerahan mengandaikan teori sosial kritis yang berhutang budi kepada Karl Marx. Adorno membaca Marx sebagai seorang materialis Hegel yang kritiknya terhadap kapitalisme tak terhindarkan mencakup kritik terhadap ideologi yang didukung dan dituntut kapitalisme. Yang paling penting dari semua ini adalah apa yang disebut Marx sebagai "fetishisme komoditas." Marx mengarahkan kritiknya terhadap fetishisme komoditas terhadap ilmuwan sosial borjuis yang hanya menggambarkan ekonomi kapitalis sebagai bentuk penjajahan baru sebagai ciri identitas bangsa;

Maka Adorno menyebut reifikasi kesadaran sebagai "epifenomenon". Apa yang benar-benar perlu diatasi oleh teori sosial kritis adalah mengapa kelaparan, kemiskinan, kebodohan, kesenjangan social ekonomi, dan bentuk-bentuk lain dari penderitaan manusia tetap ada meskipun ada potensi teknologi dan ilmiah untuk mengurangi atau menghilangkannya. Akar penyebabnya, kata Adorno, terletak pada bagaimana hubungan-hubungan idiologi produksi kapitalis itu dibangun dirawat, dipelihara, dan dimunculkan.

Apa bentuk kekejaman itu dalam ada sejak zaman Belanda, Jepang,  sampai 17 Agustus 2019 pada hari ini; atau apakah penderitaan dan kekejaman yang di alami Eyang Putri di Celah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing itu ada pada bangsa Indonesia.

Diagnosis Adorno tentang masyarakat pertukaran memiliki tiga tingkatan: politik-ekonomi, sosial-psikologis, dan budaya. Dan diagnosis kedua menggunakan pemikiran Max Weber's The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism; dan   Hannah Arendt [1906 - 1975] dan Radical Evil bahwa Sistem totaliter yang ia dalilkan bahwa kejahatan ada dalam diri manusia, jauh di lubuk hati, abad kedua puluh menemukan kejahatan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang merupakan kejahatan radikal. Ini adalah sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui oleh manusia karena itu adalah sesuatu yang menolak semua kategori teologis dan filosofis Barat. Pada dasarnya, ini adalah sesuatu yang luput dari semua pengetahuan yang telah dikumpulkan tentang masyarakat, perang dan kekerasan selama beberapa generasi.

Untuk menjawabnya maka mungkin dibutuhkan data-data dan factual akhir;  bidang politik jelas Negara ini mengadopsi demokrasi liberal dan bukan murni demokrasi Pancasila murni pada pardoks "one man one vote".  Demokrasi dengan make money maker sebagai punggawanya, dimana uang adalah raja dalam demokrasi, apalagi bangsa ini didukung dengan lemahnya apa itu integritas moral dan fakultas akal budi;

Bidang ekonomi, bangsa ini kemajuannya di tentukan oleh kekuatan mata uang yang bukan mata uangnya sendiri [misalnya US Dollar] adalah patokan mengukur martabat  kemajuan bersama-sama.  Karena mata uang asing sebagai indicator pengukuran kemajuan sementara kita membutuhkanya maka muncullah Utang Negara. Utang gagal bayar maka assets Negara atau perusahaan swasta di tukar dalam kepemilikan saham menjadi milik orang lain, Dan kita tidak berdaya.  .

Bidang kehidupan manusia hanya pada satu dimensi. Kata yang dipakai adalah 'Smart'.  Sebenarnya mengandung kekerasan, alienatif pada satu sisi. Kata Smart phone, smart city, smart car, smart governance, dan seterusya dimasukkan dalam aplikasi, kemudian dimasukkan dalam 1 induk bernama Google. Ada lagi uang pintar dengan GPN [gerbang pembayaran nasional] manusia tidak pakai uang real, tetapi uang dalam e-money, e-pay, dan ribuan e-lainnya.  Maka semua data pribadi data kita masuk dalam 1 rumah pada kepemilikkan data, dan informasi 1 data based. Nama perusahaan tersebut tentu bukan nama-nama pahlawan Kemerdekaan Indonesia, mereka semua merayap, bersembunyi dalam idiologi alienasi atas nama pencerahan dan nilai kapitalisme.

Semua data informasi, potensi, dan kepemilikan bangsa secara terbuka dan disadap dimiliki pada data based tunggal itu. Metafora filsafat menyatakan hanya dokter yang bisa membuat manusia sembuh, dan hanya dokter pula yang tahu membuat penyakit. Jika dipakai lebih dalam maka hanya yang bisa membangun ekonomi budaya dan politik adalah manusia yang sama bisa menciptakan penyakit ekonomi dan peradaban manusia.

Jika Eyang Putri di Celah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing menyajikan kata-kata kekejaman penjajahan, maka kita sekarang dijajah oleh system kapitalisme sebagai pergeseran bungkus  baru  tetapi isi produk lama. Teman-teman dosen tidak bisa disebut dosen tanpa membayar jurnal internasional mahal dengan mata uang asing, mengupload di Google, menyebarnya dalam informasi data lengkap, memasukkan dalam index citasi, baru dapat diakui sebagai dosen. Bahkan pemerintah ingin mencari rektor asing bagi para dosen. Maka sungguh terasa bahwa nasib Eyang Putri di Celah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing dengan dosen pada tahun 2019 memiliki kesamaan nasib atau  reinkarnasi yang sama dijajah oleh asing dalam isi yang sama namun bungkus berbeda. ^^^^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun