Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Debat Calon Presiden Wakil Presiden dan Tradisi Akademik [5]

16 Februari 2019   08:01 Diperbarui: 16 Februari 2019   08:23 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Debat Calon Presiden Wakil Presiden dan Tradisi Akademik [5]

Pada tulisan (1) saya sudah membahas esensi Debat Calon Presiden   Wakil Presiden dan Tradisi Akademik dikaitkan dengan tiga (3) tradisi akademik yakni retorika, dialektika, dan logika. Tiga tatanan ini adalah "Diskursus" ilmu atau disebut wacana dengan mengedepankan : logika, retorika, dialektika. 

Pada tulisan ke  (2) ini saya membahas tatanan lain pada konteks Debat Calon Presiden Wakil Presiden dan Tradisi Akademik, dengan  meminjam pemikiran Dokrin Platon dan Aristotle tentang Sikap mental Calon Presiden Wakil Presiden memiiki apa yang disebut "Phronesis Dianoia".  

Kemudian pada tulisan ke (3) saya akan meminjam pemikiran Yunani atau tradisi akademik pada tatanan dengan menggunakan apa yang disebut "episteme Arete". 

Pada tulisan ke (4) ini saya membahas  Doktrin of Persuasion (Aristotle) : Ethos, Pathos, Logos. Debat para calon punggawa Negara atau Calon Presiden Wakil Presiden memiiki apa yang disebut kompetensi "Retorika; Ethos, Pathos, Logos". 

Dan pada paparan ke (5) tentang Debat Calon Presiden Wakil Presiden dan Tradisi Akademik tentang konsep modalitas atau konsep Anthony Giddens pada bukunya Modernity and Self Identity (1991).

Kita semua paham, tahu, mengerti apa itu kebaikan bagi Negara ini. Tugas utama pemimpin atau calon presiden dan wakil presiden adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa dan Negara. Kata "cerdas" dimaksudkan bukan hanya dalam kata-kata atau wacana, atau hanya angan-angan janji yang tidak realitis, tetapi pencapaian kongkrit nyata terukur, dan mempunyai dampak (impact) dirasakan seluruh warga negara Indonesia dimanapun mereka berada. 

Sekalipun  tingkat pendidikan Indonesia dibawah rata-. Namun demikian bukan berarti bangsa ini bodoh dan terbelakang. Banyak sekali gagasan dan pemikiran yang dihasilkan. Namun kita mungkin masih kurang dalam hal implementasi bagimana menciptakan kebaikan itu semua. Bagimana menciptakan secara kongkrit idea indah dan baik tersebut dapat dilaksanakan.

Sebagai intelektual saya meminjam pemikiran dan dalil apa yang disebut "mengubah struktur perilaku mental warga Negara menjadi idiologi perubahan. Anthony Giddens pada bukunya Modernity and Self Identity (1991) menyebutkan perlu di buat sarana (modalitas) atau system berubah maka perilaku manusia pasti berubah.

Tugas utama yang harus muncul dalam diskursus public pada debat calon presiden dan wakil presiden menciptakan perubahan mental seluruh warga Negara Indonesia  atau disebut Revolusi Mental. Yang saya kira belum ada wujud kongkritnya. Atau jangan-jangan tidak paham apa yang dimaksud dengan Revolusi Mental sehingga hanya diwacanakan begitu saja tanpa ada tindakan kongkritnya.

Tidak penting siapa yang menggagas konsep ini, tetapi konsep ini jelaslah penting jika bangsa ini ingin menjadi bangsa yang cerdas, dimana akal sehat dipakai, diterapkan menjadi "penciptaan alat" [modalitas) untuk merubah mental kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun