Debat Calon Presiden Wakil Presiden dan Tradisi Akademik [2]
Pada tulisan (1) saya sudah membahas esensi Debat Calon Presiden  Wakil Presiden dan Tradisi Akademik dikaitkan dengan tiga (3) tradisi akademik yakni retorika, dialektika, dan logika. Tiga tatanan ini adalah "Diskursus" ilmu atau disebut wacana dengan mengedepankan : logika, retorika, dialektika.
Maka pada tulisan ke (2) ini saya membahas tatanan lain pada konteks Debat Calon Presiden Wakil Presiden dan Tradisi Akademik. Adapun hal tersebut adalah: "Dengan meminjam pemikiran Dokrin Platon dan Aristotle tentang Sikap mental Calon Presiden Wakil Presiden harus memiiki sikap mental apa yang disebut "Phronesis Dianoia". Â
Calon Presiden Wakil Presiden  dengan mengacu pada dokrin Platon (Plato) adalah manusia pengatur atau manusia King Philosopher untuk Indonesia. Maka semua debat yang diselenggarakan oleh KPU harusnya mengacu kepada indicator-indikator  manusia King Philosopher dapat membentuk sejarah Indonesia menjadi lebih baik pada masa mendatang.Â
Pencirian manusia King Philosopher tidak mudah menjadi apa yang disebut Leadership Untuk Indonesia, digali, dikontestasi, dan disimpulkan memiliki bakat alami atau multi talenta  sebagai pemimpin.Â
Tentu saja Leadership yang memiliki sifat Beyond. Saya menduga partai politik, dan KPU atau mekanisme UU,  tradisi  atau kebudayaan Indonesia belum dapat menghasilkan pemimpin terbaik dan paling baik bagi Indonesia atau manusia King Philosopher akibatnya belum atau tidak ditemukan sejauh ini pada dua pasangan calon capres dan cawapres ini. Mungkin membutuhkan waktu beberapa tahun mendatang.
Platon atau Plato membuat kategori King Philosopher atau pada  3 dasar pemikiran apa itu pemimpin yang idial dengan metafora dimulai dari atas kebawah atau teks buku Platon republic IV 434b sampai 434c, bahwa philosopher kings memiliki kemampuan jiwa rasional kebijaksanaan (432b) akan menciptakan pemikiran  bijaksana yang adil atau phronesis.Â
King philosopher sebagai pengatur kelas, thumos, epitumia. King Philosopher mampu mengendalikan atau bebas dari kepentingan uang atau politik uang, kepentingan harga diri, dan akhirnya jiwa rasional tegak atau agathon menjadi pemimpin Indonesia. Sekali lagi sampai debat yang sudah dilaksanakan KPU saya belum melihat kedalaman dan keluasan pada calon menjadi "Phronesis Dianoia". Â
Maka pada "Phronesis Dianoia" bukan retorika kata kata, bukan logika palsu, dan bukan tanpa data, semua terukur di atur dicampur dengan jiwa rasional atau arite atau pemimpin yang berkeutamaan (beyond) evil and good. Dengan tipe ini maka Indonesia menjadi Negara mandiri merdeka, dan daya inovasi bangsa adil dan makmur.
Maka semua bahan pada debat calon presiden atau wakil presiden sebaiknya dipandu episteme atau  memiliki kemampuan mengambil sikap (tindakan etika) dan keputusan bijaksana dalam memecahkan pekerjaannya tugas sesuai visi, misi, implementasi, evaluasi sampai kinerja pemerintahan pada keunggulan kemampuan intelligence, arete (virtue), eunoia (goodwill).Â
Harusnya pada debat calon presiden atau wakil presiden  terlihat secara kontras "bakat alamai" kompetensi pada "Episteme Dianoia",  mencari ilmu konsep (episteme) atau ilmu itu sendiri dan kebenaran dalam mewujudkan cita-cita Negara Indonesia.Â