Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kekekalan Penderitaan

17 Agustus 2018   00:59 Diperbarui: 17 Agustus 2018   01:06 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika pada tulisan sebelumnya saya telah menguraikan pandangan pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche, 1844-1900  bahwa "Kata" tidak memiliki jangkar mana apapun. Kata hanyalah sebuah topeng. Dan kedua adalah pemikiran Heraklitos (550-480SM) menyatakan : "Yang Satu adalah Banyak", dikaitkan dengan makna "kata". Bahwa  kata adalah gambaran Hinterwelt itu palsu, fiktif, salah tetapi dibutuhkan. Semuanya berubah dan menjadi, berkonflik dan akhirnya tidak ada yang disebut kebenaran pada kata, konsep, isme-isme, dan apapun kepercayaan.

Sebelum Nietzsche mengemukakan padangan dan pemikiran, tentu ada bacan ketika Nietzsche masih berumur 21 tahun yang mempengaruhi teorinya dikemudian hari tentang "Sang Kehendak (wille)".  Buku tersebut adalah   "Die Welt als Wille und Vorstellung". Buku ini disebut sebagai "The World as Will and Idea" atau "Dunia Sebagai Kehendak dan Ide". Di tulis sebagai mahakarya di tahun 1819 oleh filsuf Arthur Schopenhauer (1788--1860).

Schopenhauer  menolak preposisi bahwa alam semesta sebagai kosmos (keteraturan), justru didunia ini yang adalah adalah penderitaan dan tidak dapat dikendalikan oleh akal tanpa bisa dihentikan sebagai kondisi memakan universal. Maka dengan pesimisme Schopenhauer menyatakan "kekekalan penderitaan adalah esensi kehidupan". 

Tanah dimakan cacing, cacing dimakan ayam, ayam dimakan manusia, manusia mati dimakan tanah terurai menjadi santapan lezat tanah dan akar tumbuhan.  Maka konflik mematikan adalah inti alam semesta. Bahkan Schopenhauer menyatakan gravitasi adalah wujud pertarungan daya inersia planet-planet yang berkehendak maju, dan melestarikan dirinya. Schopenhauer melanjutkan uraianya bahwa kaum species terus berusaha meneruskan kehidupannya melalui pertaruangan penderitaan tanpa batas. Tiap-tiap species masuk dalam peperangan berdarah, masuk dalam konflik tanpa batas dan dapat diperdamikan.

Alam raya adalah panggung theater memakan universal dan menghasilkan penderitaan demi egoism tiap manusia, dan semua species yang ada. Ada kehendak buta yang menyetir alam semesta tidak mampu dikenali, dan dikendalikan.

Jika kita mengamati dengan indra kita di  kebon Raya Bogor atau dibawah kaki gunung Gede Pangrango maka disitu terjadi peperangan universal dimana daun-daun, batang tananaman, rotan melilit pohon atau benali, saling mematikan  untuk berebut cahaya sinar matahari. Akar-akarnya saling berebut menjulur kedalam tanah, dan mencari air. Mereka semua saling membunuh saling berlomba-lomba melestarikan dirinya masing-masing. Begitu juga dalam ketika saya melihat dan bermeditasi di  Taman Nasional Alas Purwo  adalah bentuk keganasan hukum rimba saling membunuh mencabik binatang herbivore diburu oleh hewan karnivora, sampai mati membusuk, atau pohon layu mati membusuk menjadi terurai kembali sebagai makanan lezat akar rerumputan dan tumbuhan lainnya.  Theater makan memakan universal ada di jantung universal tiap organisme pada bentuk apapun. Kehendak pelestarian diri dan saling membunuh. Inilah wujud "kekekalan penderitaan adalah esensi kehidupan". 

Schopenhauer dialam semesta ada "Kehendak Buta" yang mewujudkan menjadi kehendak particular di alam ini. Atau dialam ini ada kehendak buta memusnahkan diri. Dan "Kehendak Buta" ini selalu lulus dan tidak pernah dapat dijangkau oleh kemampuan ilmu pengetahuan. Atau hal yang tidak mampu dikenali, dikendalikan oleh manusia sejenis dengan konsep  "Noumena" atau "das Ding an sich" dalam pemikiran Immanuel Kant.

Maka "Kehendak Buta" metafisis ini  sebagai wujud "Sang Kehendak (wille)" selalu tidak bisa tembus dalam kemampuan akal budi manusia. Dan akal budi adalah alat atau budak pada kehendak  hasrat "Kehendak Buta"  untuk melestarikan kelangsungan hidupnya.  Schopenhauer memberikan contoh pada alasan manusia menikah, secara rasional karena cinta, atau perintah kebudayaan, atau apapun alasannya. Schopenhauer menyangkal pendapat seperti itu dengan alasan yang tampak adalah insting seksual, masuk dalam diri manusia secara membabi buta (tanpa diketahui disadarai penuh), dan manusia tahu bahwa kepuasan semacam itu tidak pernah berhenti. 

Maka hasil (output) insting seksual melahirkan anak yang justru tanpa sengaja  akan menghasilkan membunuh materi (daya-daya) kedua orang tuanya atau menyingkirkan mereka. Gaji, deposito, rumah, mobil, kekayan property, uang,  habis diambil anak, atas nama sekolah, atau atas nama memperjuangkan anak dan keturunan. Muka cepat tua, kulit cepat keriput, utang banyak, dan tanggungan terus terjadi, dan penderitan muncul tak dapat dibantah.  Dan ketika sudah menikah anak laki-laki memberi gaiinya pada wanita anak orang lain, dan bukan memberi pada mama atau orang tuanya. Atau perjuangan orang tua bisa masuk penjara korupsi mencuri penjahat atas  nama demi anak dan keturunannya. Atau anak laki-laki lebih sayang mertuanya untuk merawat menjaganya;  dan lupa pada orang tua yang melahirkan membesarkan dan mendidiknya. Sekali lagi ini adalah wujud "kekekalan penderitaan adalah esensi kehidupan". Cinta adalah jebakan dari kehendak untuk hidup mematikan.

Maka alasan pernikahan tidak lebih pada insting melestarikan species manusia, yang sebenarnya tidak mampu didefinisikan dengan finalitas karena ada daya metafisis yang menyetir manusia berwujud  "Kehendak Buta". Tentang laki-laki Schopenhauer secara naluri cintanya lama kelamaan akan berkurang dan layu luntur pelan-pelan ketika sudah terpuaskan maka dia ditarik oleh wanita wanita lain dan laki-laki menghendaki suasana berubah. Dan alam semesta inti terdalamnya berubah-ubah pada keinginan baru adalah disetir oleh "sang kehendak". Keinginan baru ini seperti dalam OTT KPK, sudah kaya, pengen kaya lagi, sudah punya apa saja tetapi pengen lagi mobil 1 menjadi 10, dan seterusnya, tidak dapat dikendalikan. Hukum pun tidak dan manusia ingin puas, kecewa, ingin lagi, dan lagi. Keinginan sama dengan kekurangan, dan kekurangan menimbulkan makan memakan universal. Keinginan adalah penderitaan.

Dan hal ini bersifat absolut dan tanpa finalitas apapun. Hidup adalah lingkaran penderitaan.  Manusia selalu masuk dalam kesalahan-kesalahan dan kekecewaan secara terus menerus mewujudkan  "kekekalan penderitaan sebagai esensi kehidupan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun