Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Heidegger, dan Hermeneutika Ontologis (6)

21 Juni 2018   15:23 Diperbarui: 21 Juni 2018   15:30 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Martin Heidegger, dan Hermeneutika  Ontologis (tulisan ke 6)

Pada tulisan ke 6 adalah membahas kontribusi dan implikasi Martin Heidegger pada teori hermeneutika. Heidegger menurut saya telah sangat jauh dalam menempatkan persoalan pemahaman dibandingkan dengan tradisi ilmiah modern, dan berkembang dalam rasionalisasi barat semenjak Auguste Comte menjelaskan 3 tahapan pemikiran sampai kepada pemikiran rasionalisme positivism. Bahkan dalam bidang hermeneutika Heidegger melampaui pemikiran terdahulunya Wilhelm Dilthey atau Friedrich Schleiermacher, atau Edmund Husserl. 

Bagi Heidegger Pemahaman (verstehen)  berifat temporal, intensional, dan historisitas. Pemahaman (verstehen) bukan akitivas keseadaran Cartesian atau ketidakadaran [I think the for I am] atau model Sigmund Freud, atau Gustav Carl Jung. Tetapi pemahaman (verstehen)  adalah sebuah term penyidikan yang menelusuri apa dibalik peristiwa penemuan realitas yang berdasarkan kebeadaan itu sendiri ditemasisasikan.

Pada buku Heidegger ide magnum opus, Being and Time (Sein und Zeit) diartikulasikan terus menerus sebagai wahana bagi pertumbuhan pemikiran selanjutnya, dan ketekuannnya memahami hermeneutika atau sebagai fenomenologi manusia (Daseins). Hermeneutika bukan sebagai [Geisteswissenschaften] dan [Naturwissenschaften] tetapi melampaui dengan memahami non kategorial, memahami ketersembunyian dengan metode Stimmung [everyday phenomenon of mood ), dan menemukan kekerasan pencarian kebenaran yang sering tersembunyi atau interpretation of Truth (Aletheia in Greek), mencari term-termnya sendiri.

Pada buku Heidegger ide magnum opus, Being and Time (Sein und Zeit), dikaitkan dengan Platon Doctrine of Truth, bagi Heidegger  metafora gua Platon [The Allegory of the Cave, pada Republic  514a--520a] adalah wujud bahwa kebenaran tidak disembunyikan, karena manusia yang keluar dari Gua mendapat cahaya dan kembali lagi kegua sebagai konsep kebenaran korespondensi.

Heidegger menegaskan konsepsi semula tentang kebenaran sebagai pengungkapan telah ["hilang"]. Maka kebenaran bagi orang barat menjadi sesuatu yang terlihat [orthotes], kebenaran persepsi, dan pernyataan. Maka kebenaran adalah soal perolehan ide atau dalam term ide.

Tentu berbeda dengan Ren'e Descartes (1590-1650), [res cogito, res extansa, res infinita, clara et distince) ada dualitas antara mind and body, bahwa kebenaran lebih sekedar konformitas antara mengetahui dan diketahui, ia merupakan ketentuan rasional subyek. Karena itu maka seluruh rasionalitas barat menjadikan status dunia dipasangkan secara serentak dalam subjektivitas manusia, maka manusia menjadi pusat subyek, dan semua filsafat menjadi pusat kesadaran (rasionalitas). Oleh Heidegger disebut sebagai sindrom subjektivisme modern.

Dengan cara ini maka implikasinya sangat luas, seluruh ukuran, terma, nama, dan apapun diukur dalam rasionalitas manusia. Maka tugas manusia adalah menguasai dunia, maka manusia modern akan terkungkung dalam  dalam lingkaran dunia yang diproyeksikannya sendiri. 

Semua hal dapat di operasionalisasikan dalam rasionalitas. Implikasi dalam filsafat nilai (etika) bahwa dominasi manusia atau subjek ini maka metafisik dianggap sebagai ["ekspresi kehendak"] baik  diungkapkan dalam term nalar (Kantian), kebebasan (Fichte), kasih sayang (Schelling), Geist absolut (Hegelian), dan kehendak berkuasa (Nietzsche). Bahkan pada kehendak berkuasa (Nietzsche)  hanya kendak tak terbatas yang diutamakan atau nihil nilai.

Demikian juga dalam term teknologi. Manusia diposisikan dalam sistem kontrol terhadap semua objek pengalaman, semua pemikiran dipaksakan terhadap dunia. Alam dikonversi dalam demi konstruksi pemikiran manusia dan kebutuhannya. Sungai dibuat dam-dam, hutan ditebang dibuat jalan tol, dan kota besar demi bernama subjek manusi dan atas nama emansipasi.

Hermeneutika pun dibawa dalam alam pemikiran ini, diaggap pelayan keinginan, kehendak subjek manusia. Ditafsir sesuai ukuran rasionalisme dan teknologi, bersifat artificial dan manipulatif. Dari kebenaran dihilangkan menjadi pembenaran. Demikian juga bahasa dipahami sebagai sistem tanda (laba, atau rugi) diaplikasikan dalam term yang diluluskan oleh pengetahuan subjektif manusia. Hermeneutika memang mengacu pada pikiran pada satu sisi namun tidak sekedar dikatakan, dipikirkan, namun juah lebih mendalam adalah apa yang tidak dipikirkan atau setidaknay berpikir metiatif (andenkende).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun