Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Diogenes dari Sinope, dan Manusia Indonesia

10 Juni 2018   04:26 Diperbarui: 10 Juni 2018   04:32 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Diogenes dari Sinope [Diogenes of Sinope"] hidup pada abad ke-4 SM, yaitu sekitar tahun 412-323 SM.  Diogenes dari Sinope menjadi manusia bijaksana diukur dengan kesusuaian antara yang diajarkan dengan  yang dilakukan dalam praktikkan dalam hidup. Maka pilihan hidup yang dipilih Diogenes adalah memiliki tempat tinggal dalam tong, dan mencari makanan sampah dan sisa apa saja yang temukan.  

Manusia idialis, dan konsisten dalam hidupnya, menolak dunia ini  bahwa keutamaan tentang yang baik adalah ketika manusia memiliki rasa puas diri dan mengabaikan segala kesenangan duniawi.  Berani menolak berbicara berdialog dengan Alexander Agung maka Diogenes sangat konsisten ["Get out of my sunlight"] terhadap pandangan hidupnya tentang kesederhanaan dan penolakan terhadap segala bentuk kuasa dan kesenangan. Bagi saya memahami Diogenes dari  Sinope anak  Laertius sekalipun mengambil sebagai filsuf sinisme namun juga penuh humor yang tak tertandingi dalam caranya berfilsafat.

Suatu hari kritik dilakukan oleh Diogenes dengan membawa membawa lentera  menyala di tengah-tengah pasar pada siang hari untuk mencari manusia. ["Aku mencari manusia ditengah pasar yang ramai disiang hari bolong"]. Ini adalah upaya metafora Diogenes dari Sinope pada keprihatinan tidak ditemukan manusia sesuai kodrat nya.  Hal itu dilakukannya untuk memberi kritik terhadap masyarakat tidak lagi hidup bertanggugjawab antara yang diketahui, diajarkan, dan yang dilakukan. 

Ada sinis pada perilaku manusia atau semacam Misogyny atau kebencian, pelarian, penderitaan dengan memilih hidup sesukanya sendiri. Tentu perjumpan kegelisan saja Diogenes dari Sinope puncaknya adalah pada pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) tetang warta kematian Tuhan, ["Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kitalah yang membunuhnya!"].

Sinisme Diogenes dari Sinope di pahami sebagai kejahatan melawan diri sendiri, dan bukan hanya melawan umat manusia. Kesalahan manusia dala serangan pada rasa hormat kodrat manusia di dunia ini. Kegeniusan kebencian, halusinasi kebencian atau keberan dalam logika yang ketat. Pencurian kebenaran seperti dilakukan Prometheus, tidak layak dikenakan pada dirinya sendiri, merasa tanpa dosa dan butuh penyelematan seolah-olah manusia mengotori  merusak menghancurkan dirinya sendiri.

Sinisme Diogenes dari Sinope tidak pernah meminta apapun jika engkau menjadi manusia, bagimana manusia mengkontruksikan situasi batin  dan bagaimana seharusnya kita hidup. Sinisme Diogenes dari Sinope memberikan kesaksian dalam praktik didepan realitas ada seada-adanya. Diogenes dari Sinope tidak melawan apa yang ada tidak mempertahankan haknya, tidak melakukan apapun yang dapat terhidar dari enak atau sakit, bahagia atau menderita,dan tidak menjadikan diri memproduksi sesuatu. Tidak marah, membela diri, tidak merasa paling bertanggungjawab atas kekonyolan diri manusia.

Pertama (1) Tidak mungkin jika kita ingin memahami Diogenes dari Sinope, dan  Indonesia Mencari Manusia, jika para punggawa di negara ini tidak mau berkoran apaun kondisi negara ini  apa yang tidak dapat diubah, dan selalu siap hidup luhur. Dan sekaligus mencintai praktik hidup baik (bukan hanya diketahui, dan diajarkan).  Tidak mudah putus asa dengan memberikan terbaik bagi negara bangsa keluarga dan masyarakat, menolak kemapanan, kepuasan diri, dan forma apapun. Itulah manusia Indonesia versi Diogenes dari Sinope.

Kedua (2) Diogenes dari Sinope, dan  Indonesia Mencari Manusia, adalah tidak mungkin memahami para pahlawan kita,  Pancasila, UUD 1945, sumpah Pemuda, Proklamasi, hanya dapat dilakukan jika manusia Indonesia dan sistem negara ini mengembalikan manusia pada pengenalan diri sendiri (subjek) diri. Menjadi diri sendiri berindentitas membutuhkan kesungguhan mendalam, atau kesungguhan mendalam, atau kedalaman yang melampaui yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan. Cara ini akan menciptakan mutu yang menguat mengutuh dan manusia unggul untuk kemudian menjadi proyeksi proyeksi antroposentrisme. Ini saya sebut model pengutuha diri diri manusia Indonesia.

Ketiga (3) dengan meminjam model tindakan Diogenes dari Sinope memungkinkan dominasi manusia Indonesia menemukan ["Manasvini'} adalah nama Ibu Rembulan bermakna berarti kebijaksanaan yang penuh pikiran atau perasaan. Atau Minerva adalah salah satu dewi utama kebijaksanaan, atau suara burung hantu Minerva tanda nama kebijaksanan manusia Indonesia.  Atau semacam pemikiran Adam Weishaupt (1748--1830) Owl of   Minerva  as  the  group's   symbol. Sebuah upaya mencari kebijaksanaan.

Ke-empat (4) implikasi Diogenes dari Sinope adalah alam semesta (kosmos) kekuatan perkelahian saling berlawanan, untuk memenangkan diri sendiri, atau ada perjuangan dan perlombahan hidup, dan konflik tanpa henti atau ada semacam kehendak particular alam semesta sebagai kodratnya. Diogenes dari Sinope berani mempraktikan kehendak adalah permusuhan pada diri sendiri, melalui pemahaman seni kehidupan, dan melalui tindakan moral (memesis) atau contoh tauladan.  

Bahwa kemudian prosesnya adalah penyangkalan diri pada kepentingan kehendak, menerima penderitaan tanpa alasan, sampai rasa sakit tak bernama atau semacam "Nrimo ing Pandum" dan sikap "Eling lan waspada" model pemahaman filsafat  Jawi Kuna. Sikap "Nrimo ing Pandum" dan sikap "Eling lan waspada" adalah upaya menonaktifkan egosime dan mengahadirkan "welas asih" Jawani. Dengan sumber dan "welas asih" atau upaya pelulusan dari ["Kehendak"] kerangka Arthur Schopenhauer atau Genealogi Nietzsche.  Demikianlah pragmatisme Diogenes dari Sinope dalam hidup yang asli dan primodial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun