Peraturan  Bagi  Diri  Sendiri
Rumusan Kant tentang imperative kategoris: ["Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim) yang dapat sekaligus kaukehendaki menjadi hukum umum"]. Immanuel Kant (1724-1804), filsuf Jerman terbesar dan paling berpengaruh dalam perjalanan filsafat Barat modern.
Ada banyak sekali dokrin Kant sesuai 3 buku yang dijadikan hasil pemikiran kritis yang menjadi gagasan seluruh pemikiran filsafatnya. Ketiga buku tersebut adalah  Kritik der reinen Vernunft Kritik Akal Budi Murni; Kritik der praktischen Vernunft --Kritik atas Akal Budi Praktis; Kritik der Urteilskraft --Kritik atas Putusan. Maka pada tulisan ini saya hanya membahas pada salah satu aspek pemikiran Kant khususnya tentang tindakan manusia (etika). Dokrin yang tersebut adalah bagimana membuat {"Peraturan  Bagi  Diri  Sendiri"}.Â
Tentu saja dokrin ini dikaitkan dengan pengalaman hidup Kant sebagai keluarga meskin, tidak menikah, dan selalu disiplin dalam waktu. Kant penganut keyakinan Lutheran yang menekankan kasih sayang, disiplin dan ketekunan dalam pekerjaan, kesalehan, kesederhanaan, kejujuran, dan hubungan pribadi kepada Tuhan.Â
Bahkan saking displinnya maka orang-orang penduduk kota Knigsberg (tempat tinggal dan kelahiran Kant), tidak perlu melihat jam atau arloji, karena tiap sore hari ketika berolah raga jam pasti menunjukkan pukul 16 sore. Maka  displin diri, dalam disiplin berpikir,  bertindak  adalah peraturan bagi diri sendiri. Mengatur diri sendiri memang tidak mudah, atau mendisplin kan diri  sampai kita bisa menentukan sikap sebagai manusia bebas (otonom) bersuara hati.
Salah satu dokrin Kant tentan etika bersifat imperative kategoris. Atau perintah disadari dan wajib (harus) dilaksanakan tanpa syarat sedangkan lawannya adalah imperative hipotetis. Rumusan Kant tentang imperative kategoris ["Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim) yang dapat sekaligus kaukehendaki menjadi hukum umum"].
Dengan kedisplinan ini maka kemudian Kant membuat dokrin tentang "dokrin Maksim". Dokrin Maksim adalah prinsip tindakan subjektif. Atau suatu prinsip yang ditetapkan sendiri dan ditaati sendiri oleh seorang individu. Itu adalah ciri orang yang bebas atau otonom, yakni memberi hukum untuk diri sendiri dan ditaati sendiri.Â
Sumber moralitas terletak dalam otonomi, dalam hukum yang diberikan oleh kehendak sendiri. Sumber moralitas adalah kebebasan. Seluruh tindakan manusia berada pada keterikatan moral yang mutlak, dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan argumentasi rasional. Tindakan moral bersifat murni (apriori deduktif) tanpa menggunakan pengalaman empirik: data-data, kebiasaan masyarakat, kebiasan-kebiasan, nilai budaya, lembaga, sejarah, struktur social.Â
Bersifat  murni (apriori deduktif) sebagai wujud kemampuan akal budi untuk mengatasi medan pancaindra, dan medan alam semesta atau disebut akal budi teoritis bersifat non empiris; sedangkan akal budi murni tindakan disebut sebagai akal budi praktis. Maka pada kondisi {"tindakan"} moral akal budi praktis {"tanpa"} data-data empirik ini maka pada saat itulah manusia dapat menemukan prinsip-prinsip moral. Adalah kemampuan untuk memilih tindakan tanpa data-data dan pengalaman empirik, atau tidak mengikuti hukum alam yang sudah ada. Atau pada kondisi ini disebut sebagai kebebasan.
Maka {"Peraturan  Bagi  Diri  Sendiri"} adalah bertindak bebas atau otonom, dalam artian ia sendiri memikirkan hukum-hukum, mengakui hukum-hukum itu sebagai prinsip,  dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip itu, atau membuat prinsip-prinsip yang diakui sendiri. Bertindak menurut hukum-hukum yang dibayangkan sendiri adalah "kehendak". Lalu apa {"Peraturan  Bagi  Diri  Sendiri"}itu dianggap sebagai kondisi {"tindakan"} moral akal budi praktis dapat memperoleh pendasaran.  Maka {"Peraturan  Bagi  Diri  Sendiri"} memiliki nilai moral jika (a) baik dalam semua segi, tanpa batasan atau baik secara mutlak atau kehendak baik adalah baik, tidak tergantung pada sesuatu diluarnya; (b) kehendak itu dinyatakan bersifat kewajiban; atau melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban sebagai kehendak baik tanpa pembatasan; (c) mengukur moralitas tidak diukur dengan hasil tindakan; (d) menggunakan semua sarana agar tindakan itu dapat dilaksanakan.