Ada dua kelompok studi mahasiswa saya baru-baru ini  mengamati langsung etos kerja karyawan di perusahan asing, dengan perusahaan local. Aspek yang menjadi focus studi etnografi  hanya berfokus pada satu aspek yang paling mudah diamati, yakni menyangkut displin jam kerja. Studi etnografi dilakukan hanya dalam waktu 2 bulan relative pendek.
Hasil deskripsi data, setelah di hitung maka diperoleh data kasar: Â kelompok perusahaan local dan non asing (datang rata-rata jam 07.05) absen, kemudian keluar sebentar, efektif kerja jam 08.00 sd jam 12,00 istrihat sd jam 13.00. jam 13.00 sd 17.00. Total 8 Jam perhari sesuai aturan.Â
Setelah dihitung rata-rata terdapat kehilangan waktu kerja 8 jam hanya efektif lebih kurang  6  jam. Mengapa karena diantara jam tersebut ada waktu ke WC atau urusan pribadi tak diketahui, dan rata-rata 2x sebelum makan siang dan  dll, dan kemudian hal yang sama  2x setelah makan siang. Kebiasan lain sebelum makan 30 menit tidak focus, dan 30 menit sebelum pulang juga sama.
Berati ada: 2 jam x 5 hari x 4 minggu atau ada 40 jam dalam 1 bulan kehilangan jam kerja. Sedangkan perusahaan asing dalam 1 bulan rata-rata kehilangan jam kerja tidak lebih dari 30 menit perbulan. Memang studi ini tidak menggambarkan generalisasi. Tetapi ada indikasi awal efektivitas budaya kerja diantara dua tipe perusahaan itu berbeda.
Pertanyaannya bagimana hal itu mungkin terjadi.
Tentu saja banyak aspek, dan tidak mudah untuk dijawab,  tentu saja dibutuhkan kajian yang komprenship dan memadai. Saya menduga ada perbedaan  paradoks relativisme budaya kerja khususnya berkaitan dengan pola kerja bisnis kini telah meng-global. Setiap pengusaha, kapan dan di manapun  selalu berkiat untuk berekspansi, akibat persaingan.
Pada saat yang sama muncul persoalan: "Di satu sisi, bisnis akan terus mengglobal maka harusnya prinsip-prinsip moral bersifat universal. Di sisi lain, jikalau setiap budaya lokal memiliki nilai-nilai serta norma-norma moralnya sendiri-sendiri.
Dalam kondisi seperti itu, apa yang semestinya  dilakukkan oleh para pebisnis global." Mencuri, merampok dan korupsi pasti   dilarang di mana-mana. Si pencuri waktu jam kerja, kecurangan,  perampok, dan koruptor, jelas akan dicela di seantero dunia.
Sogok, yang di Eropa merupakan tindakan tercela, justru menjadi kegiatan halal (penentu awal dan keasrian sebuah bisnis) di beberapa  belahan dunia, termasuk di Indonesia. Intinya: Di satu sisi memang ada nilai dan norma-norma moral umum namun di sisi lain, terdapat  norma dan nilai khusus dalam setiap budaya. Bagaimana anda menyikapi hal ini. Penelitan-penelitian mutakhir tersebut menyimpulkan: (1) Peter Singer (The Expanding Circle, 1981 hlm.14-17)"Animals know how closely related they are to each other.Â
They can distinguish full sisters from half sisters or cousins from unrelated animals. A female chimpanzee with many reproductive years ahead of her may sacrifice her life for a single  child"; (2) Ivan Pavlov (Psikolog Rusia) mampu membuat anjingnya yang berperilaku cerdas, (3) Mary Midgley (Beast and Man, A Meridian Book, 1981:3) "We are not just like animals, we are animals"; (4) Ungkapan rakyat,  "Seekor induk singa tidak pernah memangsa anaknya sendiri. Benarkah Etika merupakan kekhasan manusia.
Penelusuran Ilmiah. Manusia hanya dapat menjadi makluk humani mampu membathinkan nilai-nilai moral dan mengamalkannya dalam keseharian hidupnya secara konsisten dan bertanggung jawab.Implikasinya. Hanya manusia saja yang perlu etika agar hidupnya lestari!Â