Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kedudukan "Tidak Ada"

23 Februari 2018   16:23 Diperbarui: 23 Februari 2018   19:50 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tidak ada" Sebagai "Penantian"

Summum verum, summa fallaciae (kebenaran yang tertinggi = kebohongan yang paling besar).

"Tidak Ada" paling puncak, dan paling akhir. Ketika saya mengajarkan matakuliah di suatu perguruan tinggi pada hari Jumaat 17 April 20XX, saya memulai memanggil nama-nama mahasiswa satu persatu. Ketika saya memanggil nama mahasiswa bernama "Yayu" tiba-tiba  serentah mahasiswa dalam satu kelas berteriak menjawab "tidak ada" Pak. Kebetulan Yayu adalah mahasiswa pintar dan rajian sekaligus sebagai ketua kelas. 

Kemudian saya bertanya, "Yayu"  ada atau tidak ada, sekali lagi mahasiswa yang hadir menjawab tidak ada Pak. Pada dialog tersebut dapat dicari esensi pertanyan apakah kita mengetahui sesuatu "tidak ada" itu karena disebabkan hal yang "ada" terlebih dahulu dan mengenal sebelumnya, sehingga ada lebih dahulu baru kita dapat mengetahui yang "tidak ada". Atau kita tahu "ada" setelah Yayu "tidak ada" dalam kelas.

Pertanyaan ini tidak ubahnya kita menjawab kalau kita membahas sesuatu yang "ada" juga sama pentingnya dengan membahas "tidak ada". Saya pernah bertanya mana yang lebih penting "isi celana dalam atau celana dalam", serentak mahasiswa menjawab "isi celana dalam" artinya mereka lebih penting sesuatu Ada.

Tapi ketika saya jelaskan dua-duanya tidak penting, tanpa dua-duanya (tidak ada), yang lebih penting adalah bisa membuat saya terangsang atau apalah arti kalau celana dalam tersebut adalah milik kedua orang tua kita. Jadi saya lebih suka ketika "tidak ada" dibandingkan "ada".  Demikian juga dikaitkan dengan keberadaan (eksistensi) sesuatu yang "tidak ada" jauh lebih bermakna dibandingkan jika "ada".

Misalnya dompet kita ketika "ada "dikantong celana kegunannya tidak begitu terasa penting, atau motor Vespa  kesayangan, atau pacar kita, justru ketika "tidak ada" baru kita merasa hal itu penting, bermakna, dan sangat berguna. Sering kali kita terjebak dalam teks sulit menyamakan, membedakan antara "ada" atau "tidak ada". 

Pada konteks ini manusia seringkali lupa apa yang "ada" dimiliki sementara saat ini menjadi kurang disadari, bahkan kurang mensyukurinya, seperti tidak memanfaatkan status sebagai dosen, mahasiswa, pejabat, pengusaha, atau politikus, akibatnya manusia mempunyai kecenderungan menyesali masa lalunya ketika semuanya itu menjadi "tidak ada",.

Kata kunci yang dapat saya sampaikan adalah ada baiknya tidak berdikhotomi "ada" atau "tidak ada" tapi semuanya menjadi "pernah ada" sebab relatif lebih lulus oleh ruang dan waktu, sebab semuanya adalah ke-sementara-an (impermanence) akan berubah "menjadi". 

Tugas manusia secara ontologis adalah memahami metafisik tersebut dalam penantian akhir segala sesuatu adalah permulaan segala sesuatu. Jadi tujuan organisasi ataupun lembaga adalah menjadi, dan tidak pernah ada, hanya sementara. Karena itu ilmu selalu menghadapi anomali  dan tidak dapat memprediksi menjelaskan semua hal (paham nihil). Artinya mengandung kekosongan, belum ada teori yang mampu menjelaskan fenomena, ketelanjangan, dan kesepian, tapi pada saat itulah menghasilkan terang, dan kejujuran total.

Terkadang pada posisi ini mengakibatkan pesimisme dan pengingkaran, dengan cara dijungkirbalikan. "tidak ada"  akan dialami oleh manusia secara utuh dan menyeluruh melalui kematian. Dalam teori organisasi tujuan perusahaan adalah menjadi "tidak ada" sebagai perwujudan akhir semuanya. Dengan argumentasi tersebut dapat saya jelaskan semua cakrawala siklus (lingkaran) adalah kematian (kepalitan/tutup) melalui berbagai cara sakit, musibah, atau keelakaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun