Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Money

Transliterasi Filsafat Descartes Pada Bidang Ilmu Auditing

22 Januari 2018   04:24 Diperbarui: 23 Januari 2018   20:12 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TRANSLITERASI FILSAFAT RENE  DESCARTES PADA BIDANG AUDITING Studi Genealogi Fenonena General Skepticism Pada KAP Di Jakarta**)

Pertanyaan penelitian ini adalah "dari mana auditor, auditee, auditing dapat melakukan kesalahan". Ini saya sebut sebagai fenomena  General Skepticism artinya meragukan semua hal (keraguan umum), untuk memperoleh kepastian pengetahuan. Doubt Method: maka dari keraguan umum tadi ada istilah metode meragukan (Skepticism)  atau cara keluar dari keraguan untuk memperoleh kebenaran atau kepastian bahwa saya telah berpikir, maka saya ada ("Cogito Ergo Sum"). Discourse on Method:  metode diskursus atau metode wacana berpikir atau penerapan pikiran dengan tepat dan pencarian kebenaran dalam ilmu-ilmu rasionalisme dan empirisme.  Untuk menjawab pertanyaan penelitian ini adalah "dari mana auditor, auditee, auditing dapat melakukan kesalahan", maka saya meminjam alat narasi akademik filsafat  Ren Descartes (1596-1650),  menjelaskan konflik antara realitas menjadi dua (Res Extensa, dan Res Cogitans), " Res Extensa (materi atau tubuh)," adalah suatu keluasaan yang menempati (RW ="ruang, dan waktu") atau dalam aliran materialisme dapat dikatakan sebagai perwujudan materi sedangkan "Res Cogitans" adalah proses penyangkalan berpikir. Metode dipakai dengan menggunakan keraguan atau "Cogito Ergo Sum" (aku yang berpikir, maka aku ada)  menyangkal realitas membuktikan tentang adanya diriku.  Cara berpikirnya adalah metode "Intellectual Perception" clara et distincta (terang, dan jelas). Setelah melakukan Studi Genealogi Pada KAP Di Jakarta, berikut ini adalah 7 (tujuh tahun) dalil narasi akademik "transliterasi filsafat Cartesian pada bidang auditing":

  • Dalil (1):  Auditing  adalah proses mengetahui, dan memahami melalui: "uji substansi" dualitas pada (1) Berpikir (res cogitans), dan (2) Res Extensa (materi atau tubuh), dengan menggunakan daya "Intellectual Perception" yang jernih, terpilah-pilah (clara et distincta).  Hanya dengan metode persepsi Clear, and Distinct, dan ide-ide bawaan (innates ideas), dipastikan terhindari pada kesalahan audit  dalam semua hal.
  • Dalil (2): General Skepticism artinya meragukan semua hal (keraguan umum umat manusia), merupakan cara memperoleh kepastian pengetahuan melalui "uji substansi" pada (1) berpikir (res cogitans), dan (2) Res Extensa (materi atau tubuh), dengan "Intellectual Perception" yang jernih dan terpilah-pilah (clara et distincta).
  • Dalil (3): Discourse on Method (metode wacana atau diskursus) adalah cara menghilangkan penyebab saya (="Auditor") melakukan kesalahan (The Cause of Error).
  • Dalil (4): Doubt Method: adalah terminologi pada metode meragukan (General Skepticism)  atau cara keluar dari keraguan untuk memperoleh kebenaran atau kepastian bahwa saya berpikir, maka saya ada ("Cogito Ergo Sum").
  • Dalil (5): Dua Penyebab saya (="Auditor") melakukan kesalahan (The Cause of Error), adalah: (1) Cakupan "kehendak" saya lebih luas dibandingkan cakupan intelek, (2)  Kehendak bebas (will) melampaui apa yang persepsi jernih dan terpilah-pilah (clara et distincta). 
  • Dalil (6): Agar saya (="Auditor")  tidak melakukan kesalahan maka ada dua cara: (1) hanya mempersepsi sesuatu, tanpa membuat mengenai putusan (opini audit); (2) melakukan "uji substansi" pada (1) berpikir (res cogitans), dan (2) Res Extensa (materi atau tubuh), melalui "Intellectual Perception" yang jernih, terpilah-pilah (clara et distincta). 
  • Dalil (7): Proof of God's Existence : pembuktian adanya Tuhan, dan Tuhan sebagai Penjamin Kepastian Pengetahuan saya, maka jika ada kesalahan yang dilakukan oleh saya (="Auditor")  tidak ada hubungan dengan Tuhan. Tuhan adalah Maha Mengetahui adalah penjamin kepastian "Intellectual Perception"  adalah Clear, and Distinct sebagai ide-ide bawaan (innates ideas). Hal  ini dapat dibuktikan dengan tiga bukti eksistensi Tuhan.

Descartes sebagai bapak filsafat modern. Penamaan ini didasarkan paling tidak atas dua alasan. Pertama, Descartes membangun sistem filsafat di atas dasar yang sama sekali baru, yakni subjektivitas atau kesadaran-diri. Dalam melakukan pendasaran baru ini, Descartes memutuskan hubungan dengan tradisi filsafat Abad Pertengahan yang berorientasi teologis, menolak otoritas tradisi, menolak gagasan para filsuf sebelumnya, termasuk para filsuf besar Yunani. Descartes lalu membangun sebuah sistem filsafat yang tidak bertolak dari apapun, kecuali dari rasionya sendiri. Kedua, prinsip, tema dan metode filsafat Descartes mempengaruhi perkembangan filsafat Barat sesudahnya dengan sangat mendalam. Prinsip tertinggi filsafat Descartes adalah rasio atau kesadaran diri. Dari fondasi ini kemudian secara deduktif diturunkan tema-tema, antara lain, pembuktian ontologis mengenai eksistensi Tuhan, teori pengetahuan yang berpusat pada subjek, dualisme jiwa dan badan, ide-ide bawaan (innates ideas), refleksi diri, distingsi antara dunia mental dan dunia eksternal, filsafat kesadaran atau philosophy of mind. Tema-tema ini kemudian selalu menjadi bahan refleksi dalam filsafat Barat modern. Setidaknya ada enam model Meditations karya Cartesian. 

Dari Mana Munculnya Kesalahan. Kalau Tuhan adalah penjamin kepastian pengetahuan dan melalui "Intellectual Perception" yang jelas dan terpilah-pilah terpilah-pilah (clara et distincta) kita dapat mencapai pengetahuan yang pasti benar, tentu ada pertanyaan lain yang dapat diajukan: mengapa kita (sering) melakukan kekeliruan dalam penalaran. Dari mana Munculnya Kesalahan. Kalau rasio kita yang bersumber dari Allah yang Maha Sempurna dan Maha Baik itu  cenderung ke arah kebenaran, sesuai dengan Sang Penciptanya yang Maha Baik itu, maka mengapa kita sering melakukan kekeliruan dan kesalahan dalam penalaran. Descartes menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan  penyebab kesalahan bukanlah Tuhan karena Tuhan tidak mungkin menipu kita. "Tuhan bukanlah penyebab kekeliruan-kekeliruan kita. Sesuai dengan kesempurnan dan kemahabaikan-Nya, Tuhan pasti menganugerahkan rasio yang cenderung ke kebaikan kepada kita. Tuhan tidak mungkin menipu kita dengan memberikan kepada kita akal budi yang cenderung menalar dengan keliru sebab hal itu bertentangan dengan hakikat kesempurnaanya. Dan karena Tuhan itu Maha Baik maka segala hasil perbuatannya, termasuk akal budi kita, juga cenderung ke arah kebaikan atau menghasilkan kebenaran dalam penalaran. Jadi, kekeliruan atau kesalahan adalah negasi atas hakikat Tuhan yang Maha Baik. Karena itu, demikian Descartes, kekeliruan atau kesalahan kita tidak terutama bersumber dari rasio kita sendiri, yang notabene berasal dari Tuhan, melainkan dari keinginan atau kehendak (will), yang notabene berasal dari kebebasan kita sendiri.  Hal ini dapat dipahami bila kita memahami apa yang terjadi dalam modus berpikir. Tindakan berpikir, demikian Descartes, senantiasa melibatkan dua kegiatan, yakni persepsi oleh intelek, dan operasionalisasi kehendak. Untuk membuat putusan (sebagai ekspresi pengetahuan), kita membutuhkan intelek, yakni untuk memproses bagaimana putusan itu dibuat (artinya: berpikir), tapi kita juga butuh kehendak (will) sehingga objek yang dipersepsi itu diproses oleh intelek (dipikirkan). Kalau kita melihat benda-benda atau memikirkan objek-objek tertentu, itu berarti intelek kita melakukan tindakan mempersepsi. Pada level ini tentu tidak mungkin terjadi kekeliruan atau kesalahan. Kalau kita hanya mempersepsi sesuatu, tanpa membuat putusan mengenainya, maka kita bebas dari kesalahan. Kalau kita membatasi penegasan atau penolakan kita terhadap apa yang kita persepsi dengan jelas dan terpilah-pilah, kita juga bebas dari kesalahan. Kekeliruan terjadi, kata Descartes, ketika kita membuat putusan mengenai hal yang tidak dipersepsi secara jelas dan terpilah-pilah. Jadi, dalam pandangan Descartes, kekeliruan atau kesalahan bersumber dari kehendak kita sendiri.  Cakupan kehendak kita sering lebih luas dibandingkan cakupan intelek. Intelek hanya bisa mempersepsi benda yang terberi kepada kita, sementara kehendak tidak terbatas. Kehendak kita melampaui apa yang kita persepsi atau "Intellectual Perception". Karena itu, kita sering, dengan kehendak bebas kita, melakukan putusan melampaui objek-objek yang terberi kepada kita. Dan inilah sumber kekeliruan. Karena itu, sekalipun Allah adalah pencipta kita (argumen Descartes mengenai Allah sang pencipta kita" [manusia] dipaparkan pada bagian berikut), kesalahan yang sering kita lakukan tidak dapat diasalkan kepada Tuhan. Tuhan tidak membuat kita menjadi orang yang cenderung jatuh ke dalam kesalahan.  Kesalahan itu adalah akibat dari kehendak bebas kita sendiri. Justru karena kita bebas, maka kitalah yang bertanggung jawab atas tindakan kita. Oleh karena itu, demikian Descartes, kita seharusnya tidak menggunakan kehendak dan intelek kita melampaui apa yang dapat kita persepsi dengan jelas dan terpilah-pilah. Dualisme " Res Extensa (materi atau tubuh)," dan Pikiran (Res Cogitan). Konsepsi Descartes mengenai "Res Extensa (materi atau tubuh), dan pikiran (jiwa). Saya" adalah substansi yang berpikir (res cogitans).  "Pengetahuan saya mengenai saya" sebagai substansi yang berpikir itu sangat jelas dan pasti. Saya bisa saja ragu  saya tidak punya tubuh, namun saya tidak bisa meragukan  saya bukan substansi yang berpikir. Kegiatan berpikir itu menjadi bukti eksistensi saya sebagai substansi yang berpikir. Saya bisa saja ragu  benda-benda di sekitar saya tidak eksis, namun saya tidak mungkin meragukan pikiran saya: cogito, ergo sum. Bila saya membuat putusan  meja di hadapan saya ini eksis karena saya dapat menyentuhnya, fakta ini justru memberi bukti yang pasti  pikiran saya eksis.  Namun, fakta yang sama tidak dapat memberi bukti yang pasti  meja ini eksis, karena bisa saja meja yang saya sentuh itu adalah hasil imajinasi saya, atau fakta  saya menyentuh meja ini hanyalah mimpi. Jadi fakta  saya membuat putusan soal meja, entah meja itu eksis atau tidak eksis, membuktikan dengan pasti bukan  meja ini eksis, melainkan  pikiran saya eksis. Karena tidak mungkin saya membuat putusan mengenai apapun kalau pikiran saya tidak eksis, sementara saya bisa saja membuat putusan soal meja sekalipun meja itu tidak eksis. Descartes mengatakan  umumnya orang tidak melihat hal ini karena tidak membedakan antara saya sebagai substansi yang berpikir dan saya sebagai substansi yang berkeluasan. Saya adalah substansi yang berkeluasan, yakni tubuh yang bersifat empiris dan bisa diindra. Padahal, demikian Descartes, saya itu harusnya dipahami sebagai pikiran. Di satu sisi, saya memiliki ide yang sangat jelas dan terpilah-pilah mengenai diri saya sendiri, yakni  saya adalah sesuatu yang berpikir dan tidak berkeluasan, dan di sisi lain, saya juga memiliki ide mengenai tubuh, yakni sebagai sesuatu yang tidak berpikir dan berkeluasan. Dan oleh karena itu, saya merasa pasti  saya sungguh-sungguh terpisah dan berbeda dari tubuh saya, dan dapat eksis tanpa tubuh tersebut." Pemahaman ini menjadi titik tolak bagi Descartes untuk melakukan pembedaan terkenal antara Berpikir (res cogitans), dan (2) Res Extensa (materi atau tubuh), Baik Berpikir (res cogitans), dan (2) Res Extensa (materi atau tubuh) adalah sama-sama "Substansi". Descartes mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang eksis sedemikian rupa sehingga ia tidak tergantung pada apapun untuk eksistensinya." Tentu, yang dimaksud di sini dengan tidak tergantung pada apapun" adalah kecuali pada Tuhan, karena, sebagaimana di atas dijelaskan dalam bukti-bukti mengenai eksistensi Tuhan, segala sesuatu itu berasal dari Tuhan. Pikiran (res cogitans) dan Res Extensa (materi atau tubuh), adalah dua substansi yang berbeda karena mereka dapat eksis secara terpisah satu sama lain. Kalau keduanya terpisah, bagaimana mereka berhubungan.  Apa yang menghubungkan mereka. Descartes mengatakan  sekalipun keduanya terpisah, namun dalam kehidupan organik nyata, keduanya saling berhubungan erat. Alam mengajarkan kepada saya,  melalui sensasi rasa sakit, lapar, haus dan seterusnya, saya tahu  saya tidak hanya hadir dalam tubuh saya sebagaimana pelaut dalam sebuah kapal. Melainkan  saya berada sangat dekat dan saling mencakup dengan tubuh saya, sehingga saya dan tubuh saya membentuk sebuah unit." Hubungan antara pikiran dan tubuh itu terjadi melalui sebuah tempat khusus di pusat otak, yakni yang berada di antara dua cuping otak (lobe). Tempat khusus itu disebut kelenjar pineal (pineal gland). Dalam otak terdapat kelenjar kecil di mana jiwa menjalankan fungsinya secara lebih khusus dibandingkan bagian lain dari tubuh." Interaksi antara otak dan tubuh terjadi di sini sehingga keduanya bisa saling mempengaruhi. Pikiran memiliki kemampuan untuk menggerakkan kelenjar pinneal dan melalui pergerakan itu kondisi otak berubah sedemikian rupa sehingga menghasilkan misalnya gerakan tubuh. Sama halnya, organorgan sensorik kita mengirimkan informasi ke kelenjar pinneal dan hasilnya adalah sensasi dalam pikiran.  Cogito Ergo Sum" (aku yang berfikir, maka aku ada), artinya saya yang berpikir (filsafat kesadaran), Saya" adalah substansi yang berpikir (res cogitans). Akan tetapi ada satu hal yang tidak bisa disangkal dalam realitas yaitu "Aku yang mempertanyakan realitas". "Aku" yang menyangkal Res Extensa (materi atau tubuh) atau mempertanyakan benda, alam, pengetahuan dan tubuh takkan pernah bisa disangkal, maka berangkat dari sinilah tersusun "Cogito Ergo Sum" (saya yang berfikir tentang menyangkal realitas membuktikan tentang adanya diriku).  Saya tidak bisa meragukan  saya bukan substansi yang berpikir. Kegiatan berpikir itu menjadi bukti eksistensi saya sebagai substansi yang berpikir. Saya bisa saja ragu  benda-benda di sekitar saya tidak eksis, namun saya tidak mungkin meragukan pikiran saya: cogito, ergo sum.  Bila saya membuat putusan  Ayam di hadapan saya ini eksis karena saya dapat menyentuhnya, fakta ini justru memberi bukti yang pasti  pikiran saya eksis.  Namun, fakta yang sama tidak dapat memberi bukti yang pasti  Ayam  ini eksis, karena bisa saja Ayam yang saya sentuh itu adalah hasil imajinasi saya, atau fakta  saya menyentuh Ayam ini hanyalah mimpi. Jadi fakta  saya membuat putusan soal Ayam, entah Ayam itu eksis atau tidak eksis, membuktikan dengan pasti bukan  Ayam ini eksis, melainkan  pikiran saya eksis. Karena tidak mungkin saya membuat putusan mengenai apapun kalau pikiran saya tidak eksis, sementara saya bisa saja membuat putusan soal Ayam sekalipun Ayam itu tidak eksis. mengatakan  umumnya orang tidak melihat hal ini karena tidak membedakan antara saya sebagai substansi yang berpikir dan saya sebagai substansi yang berkeluasan. Yang kita maksud umumnya dengan saya adalah substansi yang berkeluasan, yakni tubuh yang bersifat empiris dan bisa diindra. Padahal, demikian Descartes, saya itu harusnya dipahami sebagai pikiran. Di satu sisi, saya memiliki ide yang sangat jelas dan terpilah-pilah mengenai diri saya sendiri, yakni  saya adalah sesuatu yang berpikir dan tidak berkeluasan, dan di sisi lain, saya juga memiliki ide mengenai tubuh, yakni sebagai sesuatu yang tidak berpikir dan berkeluasan. Dan oleh karena itu, saya merasa pasti  saya sungguh-sungguh terpisah dan berbeda dari tubuh saya, dan dapat eksis tanpa tubuh tersebut." Pemahaman ini menjadi titik tolak bagi Descartes untuk melakukan pembedaan terkenal antara tubuh dan jiwa pikiran atau antara  Res Extensa (materi atau tubuh), dan pikiran (res cogitans). Baik jiwa atau pikiran maupun tubuh adalah sama-sama substansi. Descartes mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang eksis sedemikian rupa sehingga ia tidak tergantung pada apapun untuk eksistensinya." Tentu, yang dimaksud di sini dengan tidak tergantung pada apapun" adalah kecuali pada Tuhan, karena, sebagaimana dijelaskan dalam bukti-bukti mengenai eksistensi Tuhan, segala sesuatu itu berasal dari Tuhan. Metode Clear, and Distinct adalah cara menghindari kesalahan.  Metode  adalah jernih bersih dan terpilah-pilah atau persepsi ("Intellectual Perception") yang "jelas dan terpilah-pilah" "clara et distincta" adalah Persepsi ("Intellectual Perception") adalah persepsi  jelas (clear) yang hadir dan dapat di lihat  secara jernih oleh pikiran (res cogitans).  Sementara persepsi yang terpilah-pilah (distinct) adalah "Intellectual Perception" yang, selain jelas, juga dengan "tajam terpisah dari semua persepsi" lainnya, sehingga dalam persepsi ("Intellectual Perception")  itu kita hanya melihat apa yang jelas terkandung di dalamnya. Persepsi ("Intellectual Perception")  yang terpilah-pilah bukanlah persepsi yang kabur atau yang batas-batasnya dengan persepsi lain tidak nyata. Persepsi  ("Intellectual Perception")  yang terpilah-pilah sungguh-sungguh memperlihatkan kekhasan dan perbedaan persepsi tersebut dibandingkan dengan semua persepsi lainnya. Descartes mengatakan sebuah persepsi ("Intellectual Perception")  bisa jelas tapi tidak selalu terpilah-pilah. Karena itu persepsi ("Intellectual Perception")  bisa saja jelas tanpa terpilah-pilah, tapi tidak pernah terpilah-pilah tanpa jelas." Kendatipun Descartes melakukan deduksi pengetahuan berdasarkan prinsip kejelasan dan keterpilah-pilahan, secara metodologis tetap tidak ada jaminan  setan-setan yang jahat dan pintar itu tidak akan menipunya. 

Namun, bagaimana sungguh-sungguh memastikan  Descartes bebas dari tipuan atau godaan setan-setan yang kemudian akan mengakibatkan kekeliruan dalam penalarannya maka disini Tuhan hadir.  Proof of God's Existence : pembuktian adanya Tuhan, dan Tuhan sebagai Penjamin Kepastian Pengetahuan. Tuhan adalah jaminan kepastian akan pengetahuan mengenai dunia eksternal. Karena itu sebelum menjalan tindakan mengetahui atas hal-hal empiris, Descartes terlebih dulu memasukkan" Tuhan ke dalam sistemnya, sehingga dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh bisa terjamin kebenarannya. Usaha memasukkan Tuhan ke dalam sistem ini dapat di sebut sebagai sebuah rute transendental. Maksudnya adalah  untuk membuktikan dan menjamin kebenaran dan kepastian pengetahuan mengenai dunia empiris, maka eksistensi Tuhan yang bersifat transendental harus dibuktikan lebih dulu.  Dan melalui pembuktian Tuhan itu maka, "sekarang menjadi mungkin bagi saya untuk memperoleh pengetahuan yang lengkap dan pasti mengenai masalah yang jumlahnya tidak terhitung, baik mengenai Tuhan sendiri dan hal-hal lain yang hakikatnya intelektual, dan juga mengenai keseluruhan alam fisik yang merupakan objek matematika murni. Bukti Tuhan (1) "Innates   ideas." bagaimana Descartes membuktikan eksistensi Tuhan dengan semata-mata bertolak dari kesadaran akan dirinya sebagai substansi yang berpikir (res cogitans) itu.  Dia mulai dengan meneliti isi kesadarannya: apa yang terdapat dalam res cogitans tersebut. Ketika pikiran memikirkan dirinya sendiri, dengan kata lain: ketika melakukan refleksi, maka yang segera tampak dalam kesadaran adalah  dalam pikiran terdapat banyak ide yang satu sama lain berbeda: ide mengenai manusia, ide rumah, ide sahabat dan ide Tuhan, ide bilangan, dan lain-lain. Di sini Descartes mendefinisikan ide sebagai apa saja yang secara langsung ditangkap oleh pikiran." Ide itu adalah gambaran dari objek-objek-objek yang terdapat dalam pikiran kita. "Saya menyebut mereka "ide" hanya sejauh objek-objek itu memberi bentuk dalam pikiran itu sendiri, ketika objek-objek itu terarah kepada pikiran," kata Descartes. Descartes kemudian bertanya: dari mana ide itu berasal.  Di antara semua ide itu, ada sebuah ide yang sama sekali lain, yakni ide mengenai Tuhan. Ide mengenai Tuhan ini berbeda dari semua ide lainnya karena ia tidak mungkin berasal dari pengalaman.  Ide Tuhan itu tidak mungkin berasal dari pengalaman, itu bisa dipahami dengan jelas bila kita menerima definisi Descartes mengenai Tuhan. Ia mengatakan: Dengan kata Tuhan" saya memaksudkan sebagai substansi yang tidak terbatas, kekal, tidak berubah, bebas, sangat cerdas, sangat berkuasa, dan yang menciptakan baik saya sendiri maupun segala sesuatu yang lain (sejauh segala sesuatu yang lain itu eksis).Jadi Tuhan yang dipahami Descartes adalah Tuhan yang maha, kekal, tidak terbatas, tidak berubah, maha tahu, maha kuasa, dan pencipta segala sesuatu yang terpisah dari dia, tentu saja Ia mengandung realitas objektif yang lebih dibandingkan dengan ide-ide yang menggambarkan substansi-substansi yang terbatas.  Descartes mengatakan  tidak mungkin ide-ide itu berasal dari pengalaman karena saya tidak pernah memiliki pengalaman akan kesempurnaan, kekekalan, ketidakterbatasan atau kemahakuasaan. Tapi toh ide-ide itu ada dalam pikiran saya. Ide-ide  itu telah ada dalam diri saya sejak saya lahir karena saya juga tidak bisa mengingat sejak kapan ide-ide itu ada dalam pikiran saya. Ide-ide yang dibawa sejak lahir ini yang kemudian dikenal dengan sebutan ide-ide bawaan (innates ideas). Ide-ide itu juga tidak mungkin berasal dari saya karena saya sendiri tidak sempurna, dan sesuatu yang tidak sempurna tidak mungkin menghasilkan (ide mengenai) sesuatu yang sempurna. Apa bukti  saya tidak sempurna. Fakta  saya sering salah, keliru, atau ragu membuktikan  saya tidak sempurna. Ide kesempurnaan Tuhan tidak kompatibel dengan kesalahan, keraguan atau kekeliruan. Karena Tuhan itu sempurna maka ia tidak pernah salah, ragu atau keliru. Untuk menjelaskan asal-usul ide itu, Descartes mengatakan  sekarang, saya memiliki ide mengenai Tuhan, dan realitas objektif ide ini jauh melampaui realitas objektif saya sendiri. Oleh karena itu, sesuai dengan argumen yang telah diuraikan di atas, mesti ada sesuatu yang memiliki realitas formal dengan derajat kesempurnaan yang paling tidak sama dengan Tuhan dalam ide saya mengenai Tuhan. Dan sesuatu ini, yang memiliki semua kesempurnaan yang saya atributkan dengan Tuhan dalam ide saya mengenai Tuhan, adalah jelas Tuhan sendiri. Demikianlah Descartes mengajukan bukti eksistensi aktual Tuhan berdasarkan argumen kausalitas. Bukti Tuhan (2): argumen kosmologis. Descartes bertanya: dari manakah saya memperoleh eksistensi saya." Jawaban atas pertanyaan ini memiliki tiga kemungkinan. Mungkin dari saya sendiri, atau dari orang tua saya, atau dari pengada lain yang kurang sempurna dari Tuhan..." Descartes mengatakan  tidak mungkin saya memperoleh eksistensi saya dari saya sendiri. Mereka bukan pencipta saya sebagai res cogitans. Artinya, tidak mungkin saya yang menciptakan saya sendiri. Kenapa tidak mungkin. Sebab, kalau saya yang menciptakan diri saya sendiri, maka pasti saya sudah tidak memiliki kekurangan, keraguan atau kesalahan lagi. Kalau eksistensi saya tergantung dari saya sendiri, maka sudah pasti saya akan menciptakan saya sebagai saya yang sempurna; sudah pasti saya akan memberi bagi saya sendiri semua kesempurnaan yang ada dalam ide dalam diri saya, dan dengan demikian, saya sudah pasti menjadi Tuhan," katanya.  Dan karena saya bukan Tuhan maka pasti bukan saya yang menciptakan saya. Saya juga bukan pencipta saya sendiri, sebab bila demikian maka saya akan memberikan kepada saya sendiri eksistensi yang tanpa akhir, sementara kenyataannya, saya tidak memiliki kekuatan untuk melakukan itu.  Saya bukan pencipta saya sebagai res cogitans.   Bukti ketiga: argumen ontologis. Argument  ontologis ini Descartes membuktikan eksistensi Tuhan dengan bertolak dari isi ide tentang Tuhan itu sendiri. Argumentasi ontologis artinya argumentasi yang membuktikan eksistensi Tuhan dengan bertolak dari ide atau konsep Tuhan itu sendiri. Yang dimaksud dengan isi di sini adalah predikat yang terkandung dari konsep kesempurnaan Tuhan tersebut. Kalau sesuatu itu dikatakan sempurna, apa saja predikat atau atribut yang termasuk dalam kesempurnaan itu. Tidak masuk akal mengatakan  Tuhan itu sempurna kalau Ia tidak bereksistensi. Karena kalau Tuhan tidak bereksistensi, maka ada kekurangan dalam dirinya, yakni fakta  Tuhan tidak bereksistensi itu, dan itu berarti Dia tidak sempurna. Karena itu, Tuhan mesti dipahami sebagai bereksistensi justru karena ia sempurna. Eksistensi itu bagian kesempurnaan Tuhan, dan karena Tuhan sempurna maka sudah pasti Ia juga bereksistensi.

*) Guru besar UMB Jakarta

**) Penelitian ini terdaftar pada HKI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun