Derita guru adalah saat tidak bertemu anak didik. Anak-anak yang ingin cepat pulang ketika jam pelajaran tiba, juga merasa hampa saat 2 bulan tidak menginjakkan bangku sekolah. Ada rasa kangen yang sulit dideskripsikan oleh kita yang tidak menjalaninya. Namun waktu tidak bisa diubah menjadi apapun. Hanya sabar yang menjadi bekal kuat untuk saat ini.
Sudah lebih 2 bulan anak-anak belajar di rumah saja. Maret dan April menjadi pertanda yang tidak baik bagi semua hal, termasuk pendidikan karena wabah Virus Corona Covid-19. Padahal, selama Ramadan meskipun tidak ada aktivitas belajar mengajar, pesantren kilat juga akan menghiasi hari, bahkan buka puasa bersama di sekolah.
Ramadan yang terasa beda; dan sunyi. Namun, kita tentu saja tidak boleh mengeluh karena semua itu akan membawa kebaikan untuk sehat selalu. Anak-anak yang bebas lepas sekolah akan mudah sekali terdampak virus mematikan itu.
Duduk di rumah saja bukan berarti menikmati tayangan televisi yang tidak bermanfaat. Guru diwajibkan untuk tidak melepas tangan meskipun tidak ke sekolah. Anak-anak disibukkan dengan tugas belajar yang banyak; semua mata pelajaran dengan jadwal yang disesuaikan.
Belajar dari rumah atau belajar di rumah adalah tagar yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Tiap orang memang memiliki kesibukan masing-masing. Guru juga tidak libur meskipun tidak bersekolah. Semester tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Koneksi dengan Siswa Lebih Instan
Kelas belajar di rumah jauh sebelum Ramadan. Saat Ramadan tiba, kelas online itu juga berjalan sebagaimana mestinya. Guru memberikan tugas, anak-anak mengerjakannya. Guru menjelaskan pelajaran online melalui aplikasi Zoom maupun aplikasi video lain, anak-anak menyimak dengan saksama. Pelajaran tak kunjung usai sampai di rasa takut saja.
Guru menyiapkan Google Classroom, atau grup WhatsApp untuk memantang aktivitas siswa. Aktivitas guru dan siswa tidak luput dari perhatian sama sekali. Bahkan, tugas guru menjadi lebih banyak dibandingkan dengan bersekolah.
Google Classroom bisa diatur jadwal belajar. Namun, berbeda dengan grup WhatsApp, di mana tidak semua anak aktif pada saat bersamaan; dengan berbagai pertimbangan. Misalnya, saat menyimak pelajaran dalam grup pukul 09.00-10.30 WIB, sebagian anak-anak sudah paham semua. Beberapa dari mereka aktif bertanya, tetapi sebagian lain senyap bagaikan mati lampu.
Tiba-tiba, di jam 5 sore, satu atau dua anak yang tadi diam saat pelajaran online muncul dengan pertanyaan. "Pak, tadi saya tidak paham bagian ini," meskipun sudah dijelaskan dengan jelas. Guru terpaksa menjelaskan lagi bukan?