Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

I'tikaf Cinta di Masjid Kubah Orange "Tsunami" Aceh

20 Mei 2018   09:24 Diperbarui: 20 Mei 2018   10:02 1590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepagi itu, saya pikir udara bersih memang telah lama pergi. Hilir-mudik kendaraan terlihat jelas dari pelataran masjid yang satu persatu ditinggal jamaah sehabis subuh. Aroma embun di rumput halaman masjid masih terasa kentara sekali. Di dalam masjid, masih tersisa beberapa jamaah yang tiduran, membaca al-Quran dan hanya duduk saja atau diskusi dengan rekannya.

Matahari yang terus menukik membawa kesegaran ke teras masjid yang sepi itu. Air keran dibuka orang yang sedang berwudhu terdengar begitu saja. Itu adalah jamaah yang bersiap untuk salat sunat pagi -- salat dhuha. Hari libur begini, banyak sekali orang ke masjid karena tidak disibukkan oleh aktivitas segudang. Menikmati masa yang lewat selama puasa di dalam masjid terasa sangat menimbulkan hasrat untuk segera berubah.

Sayup terdengar lantunan ayat-ayat al-Quran dari entah siapa 'qari' di dalam masjid. Suara itu silih berganti dari satu sudut ke sudut lain. Jamaah yang duduk bergerombolan, sedang berdiskusi keagamaan mungkin, tidak pula terdengar debat yang begitu panjang. Sujud satu dua jamaah lain dalam iktikaf panjangnya, akan membawa ketenangan lahir dan batin.

Hawa di dalam masjid terasa lebih dingin dibandingkan dengan kamar yang beraroma terapi. Lantai keramik cukup ambil bagian dalam menghadirkan kesejukan itu. Belum lagi atap tinggi dengan lukisan Arab di tiap celahnya. Lampu-lampu yang telah mati seolah bercahaya untuk menerangi siapa saja yang duduk di atas karpet merah.

Masjid itu, saksi bisu tsunami Aceh tahun 2004 silam. Ribuan kenangan hadir di pelataran, lantai dua maupun atap sekalipun. Meski, belum seutuhnya memancarkan cahaya kala itu, masjid dengan bongkahan keemasan di kubahnya telah memberikan kesejukan. Seorang teman pernah berkata, "Kami lari ke masjid, di sana sudah ramai sekali orang,"

Nada suaranya memburu, saya ikut hanyut dalam suasana. "Tak ada tempat lain untuk dituju, semua orang menyeru untuk ke masjid," saya masih mendengarkan.

"Ayo ke masjid, ayo ke masjid, ayo ke masjid!" ujarnya dengan suara lantang, mempraktikkan apa yang dirinya dengar dan lihat waktu itu.

"Kau ikut lari ke masjid?" tanya saya.

"Aku ikut, kami semua ikut!"

"Tak kau lihat masjid ini rendah sekali?"

"Kami tak tahu, aku tak tahu. Kami berhamburan ke dalam masjid, ke lantai dua, ke atap, entah bagaimana mereka naik ke atas sana!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun