Benar. Untuk siapa sasaran pembayaran non tunai?
Bank Indonesia sedang berupaya melakukan sebuah gebrakan yang cukup menarik. Pembayaran Non Tunai.
Pada dasarnya, sebagian besar dari penduduk Indonesia telah melakukan gerakan non tunai. Sebut saja penggunaan ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Setiap bank menganjurkan nasabah memiliki Kartu ATM. Mesin ATM didirikan di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan dan persimpangan jalan.
Siapa yang tidak menggunakan ATM?
Menjawab ini diharuskan kunjungan khusus ke bank-bank di seluruh Indonesia. Melihat animo masyarakat yang sering antre di mesin ATM, terutama akhir pekan, menegaskan bahwa masyarakat Indonesia sangat membutuhkan pembayaran non tunai. ATM tidak hanya digunakan untuk menarik uang tunai, ATM juga memudahkan pengiriman uang ke sesama bank dan antarbank dalam waktu cepat, serta membayar tagihan pemakaian seperti pulsa telepon genggam.
Ternyata, Bank Indonesia tidak mau masyarakat hanya bergantung pada ATM semata. Melalui Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), BI mencoba mengalihkan pembayaran dari uang dalam bentuk fisik ke nonfisik agar lebih aman dan nyaman di masa mendatang. Gerakan yang diresmikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W Martowardojo pada 14 Agustus 2014 tergolong sangat rendah aktivitasnya di Indonesia.
Di lain pihak, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memberi dukungan terhadap gerakan yang digalakkan oleh BI ini. Wakil Kelapa PPATK, Agus Santoso, menyakini bahwa gerakan non tunai sangat erat kaitannya dalam meminimalkan korupsi, terorisme dan perdagangan narkoba. Di satu pihak, uang tunai memang sangat menguntungkan para pekerja kejahatan yang tak mau terlibat dengan bank, di mana kejahatan akan sulit dilacak. Penggunaan pembayaran melalui bank memungkinan kejahatan dilacak dengan mudah, mulai dari siapa pengirim, tujuan dan waktu pengiriman.
Apakah semudah membalik telapak tangan?
Tugas Bank Indonesia sangat berat dalam rangka mewujudkan mimpi mereka ini. Seminar sehari di kota-kota besar tidak cukup membuat gerakan ini dikenal oleh mayoritas penduduk Indonesia. Sosialisasi yang dilakukan di berbagai daerah tampaknya hanya masyarakat kota saja yang dituju. Semangat kemerdekaan setidaknya menjadi landasan bagi BI dalam rangka mensosialisasikan gerakan non tunai ke berbagai elemen masyarakat. Pemahaman itu akan datang jika diimplementasikan, bukan saja mendengar dalam seminar maupun membaca sesuka hari di internet.
Coba lihat gambaran transaksi di bawah ini.
Apakah penjual dan pembeli di pasar terapung ini akan melakukan transaksi non tunai?
Coba lihat lagi gambaran suasana pasar tradisonal ini.
Apakah para penjual ini mengetahui transaksi non tunai?
Potret di atas banyak masih sekali di Indonesia. Menjelang terbit fajar sampai matahari sepenggalah adalah waktu perputaran uang yang sangat signifikan. Ini menyangkut isi perut yang kemudian mengantarkan konsentrasi dalam belajar dan bekerja. Para penjual di pasar rakyat rata-rata hanya mengetahui uang recehan. Hiruk-pikuk pasar rakyat sama lusuhnya dengan lembar uang seribu rupiah yang kusut. Suara bising di pasar rakyat sama seperti melempar puluhan uang logam ke lantai keramik. Tak ada gesekan di mesin pembayaran khusus. Hanya ada kalkulator untuk menghitung kembalian, jika takut salah. Namun kebanyakan penjual di pasar rakyat, matematikanya bisa bersaing dengan alumni perguruan tinggi ternama.
Apa yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia?
Sebagai pelaku utama peredaran uang di Indonesia, BI harus berani melawan arus bahkan menginjak pasar rakyat yang berlumpur.
Sosialisasi ke Pasar Rakyat
Pasar rakyat adalah tujuan utama masyarakat Indonesia. Walaupun supermarket maupun mal telah menjual beragam sayuran mentah, pasar rakyat masih menyimpan pesona tersendiri. Ikan segar. Ikan asin. Telur asin. Sayur segar. Kelapa siap parut. Harga cabai bisa ditawar. Bawang merah bisa dibeli seperempat kilo. Telur bisa dibeli satu dua butir…
Hal ini justru menjadi sesuatu yang wajar. Perputaran uang tunai pun begitu besar. Bank Indonesia sangat menyadari bahwa pasar rakyat memiliki peran penting di segala elemen. Pasar rakyat juga menjangkau seluruh masyarakat, tidak hanya kelas atas namun kelas bawah yang ke pasar membeli seikat kangkung dan sebutir telur. Pasar rakyat itu menyala tiap waktu di kota besar sampai pedesaan.
Perputaran uang di pasar rakyat menjadi napas tersendiri bagi perekonomian Indonesia. Bahkan, saya berani bertaruh, matinya pasar rakyat, maka matilah ekonomi negara kita. Penawaran barang di pasar rakyat tak akan pernah sama dengan supermarket. Diskon yang diberikan di mal tentu saja berbeda dengan tawar-menawar di pasar rakyat.
Bank Indonesia harus menjadikan pasar rakyat sebagai sasaran penting sosialisasi gerakan non tunai. Apalah artinya becek dan bau amis jika hasilnya lebih memukau di kemudian hari. Pendekatan yang dilakukan oleh BI terhadap penjual di pasar rakyat tidak hanya dengan sosialisasi secara umum (seminar). Pendekatan personal lebih memungkinan penjual di pasar rakyat menerima imbas yang signifikan. Penjual di pasar rakyat rata-rata orang yang telah berumur atau mereka yang hanya mampu menghitung harga barang maupun uang kembalian, tetapi tidak dapat menggunakan perangkat elektronik (alat transaksi non tunai).
Transaksi non tunai tentu menggunakan alat khusus sehingga kartu kredit bisa digesek. Para penjual di pasar rakyat tak tahu-menahu soal ini jika tidak diajarkan dengan serius. Tugas BI tidak hanya mensosialisasikan tetapi mengajarkan pada mereka bahwa pembayaran non tunai dilakukan dengan gampang. Tidak mudah mengubah paradigma uang tunai dengan non tunai. Jika biasanya penjual di pasar rakyat terbiasa menghitung uang kembalian, memegang uang receh, tentu sulit melihat nominal yang tertera di mesin pembayaran non tunai. Pasar rakyat yang “sibuk” tentu tidak semua orang sempat mengajarkan satu sama lain. Peran BI membisakan kebiasaan baru ini, kemudian baru berani mengatakan gerakan non tunai telah berhasil.
Sosialisasi Pada Kaum Perempuan
Kaum perempuan tak lain para pembeli yang begitu mendominasi pasar. Pendekatan khusus yang dilakukan terhadap kaum perempuan adalah sesuatu yang wajib untuk menyukseskan gerakan non tunai. Kaum perempuan memegang kendali dapur mengepul asap atau meja makan terhidang makanan lezat. Hubungan kaum perempuan dengan pelaku pasar di pasar rakyat tak bisa dipisahkan. Kedua orang ini saling ketergantungan.
Pagi-pagi sekali para perempuan bergegas ke pasar rakyat, membeli kebutuhan rumah tangga, memanjakan anak dan suami.
Kaum perempuan akan berbelanja sehemat mungkin dengan jatah uang belanja yang diberikan kaum laki-laki – suami. Kaum perempuan datang ke pasar membawa sejumlah uang dan daftar belanja. Suami ingin makan ini. Anak ingin makan itu. Artinya, perempuan harus membeli sesuai keinginan orang-orang terkasih di rumah. Repotnya kaum perempuan tidak hanya terletak pada jenis makanan apa yang mesti dibeli namun pada uang yang tersisa di kantongnya.
Sosialisasi yang semestinya harus didekati oleh Bank Indonesia adalah para perempuan di lingkungan masyarakat. Perempuan yang masuk ke dalam ketegori fashionista tentu sangat paham dengan transaksi non tunai. Perempuan yang cuma mengerti menu masakan lezat tentu tak paham betul transaksi non tunai.
Sama halnya dengan pendekatan yang dilakukan terhadap pelaku pasar. Bank Indonesia wajib datang ke kelompok-kelompok perempuan, di kota sampai ke desa. Pemahaman yang ditanamkan menyangkut dengan kegunaan kartu kredit yang bisa digunakan untuk semua keperluan belanja. Perempuan yang awam, biasanya memegang uang tunai, tentu kalang-kabut saat tak membawa uang dalam dompet. Kelompok perempuan memegang kendali suksesnya gerakan non tunai itu sendiri. Anda bisa lihat sendiri – barangkali mengalami – perempuan itu membeli semua kebutuhan rumah tangga sampai kebutuhan suami. Susu bayi, makanan ringan, tissu, sabun cuci, sabun mandi, sikat gigi, sapu, pakaian dalam anak, pakaian dalam suami….
Dan, tidak hanya itu. Hematnya sebuah keluarga, tergantung pada hemat seorang perempuan!
Alat Transaksi Non Tunai
Tidak gampang mengubah cara lama ke cara baru. Dua faktor besar sudah saya paparkan di atas. Faktor selanjutnya tak lain ketersediaan alat transaksi pembayaran itu sendiri.
Siapa yang menyediakan alat ini?
Bank – selain BI – hanya menyediakan kartu pembayaran (Kartu Kredit). Alat transaksi non tunai tidak hanya kartu saja, namun mesin gesek yang akan membaca chip yang terdapat pada kartu sebesar empat jari itu. Selama ini, BI lebih fokus pada usaha besar di mana perusahaan telah menyediakan mesin seukuran telapak tangan orang dewasa. Supermarket yang memiliki kasir akan mudah mengkoordinir kondisi pembayaran non tunai. Kondisi ini justru terbalik dengan suasana pasar rakyat. Pelaku pasar rakyat semestinya memiliki alat transaksi (alat gesek) kartu pembayaran satu persatu. Menyediakan alat dukung ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Pelaku pasar rakyat yang masih kurang peka akan memilih kembali ke sistem pembayaran lama. Inilah tantangan BI dalam rangka menyukseskan gerakan non tunai, di mana tidak hanya memberikan pemahaman kepada pelaku pasar namun juga memberikan fasilitas, jika memungkinkan.
Sosialisasi Pada Kaum Muda
Bank Indonesia telah menjangkau kaum muda dengan beragam seminar, termasuk kerjasama dengan Kompasiana. Kaum muda tak lain pemegang kendali pasar selain para ibu mereka (kaum perempuan). Pendekatan kepada kaum mudah lebih gampang. Kaum muda yang telah menerima banyak pengetahuan akan mudah mengaplikasikan pengetahuan mereka. Namun tidak semua kaum muda mau menjalankan gerakan non tunai karena setiap kartu kredit mempunyai syarat dan ketentuan yang berbeda.
Kegunaan kartu kredit yang berbeda dengan kartu ATM menjadi boomerang tersendiri bagi kaum muda. Bagi mereka yang gila belanja akan menggunakan kartu kredit dengan seenaknya saja. Bank Indonesia sebagai penggagas gerakan non tunai di Indonesia setidaknya punya solusi terbaik sehingga kaum muda bisa berhemat demi masa depan.
Bank Indonesia tidak cukup dengan mengandalkan seminar sehari. Kaum muda mesti didekati melalui kelompok-kelompok mereka. Diskusi di warung kopi yang sering dikunjungi kaum muda. Diskusi di alam terbuka bagi mereka yang berjiwa petualang. Maupun diskusi-diskusi lain yang semestinya memberikan manfaat langsung kepada kaum muda dibandingkan seminar, didengar saat itu, dilupa sehabis makan gratis.
***
Memang, tidak gampang mengubah sesuatu yang baku. Usaha Bank Indonesia harus mendapat dukungan dari berbagai elemen. Seminar yang dilakukan belumlah cukup untuk mengubah tata cara pembayaran. Masih banyak cara yang bisa dilakukan oleh BI dalam rangka menyukseskan gerakan non tunai. Salah satunya dengan menggaet blogger Indonesia. Ini merupakan terobosan yang akan dikenang sepanjang internet masih kokoh. Tulisan sangat mempengaruhi setiap gerakan manusia. Tulisan di blog cukup mudah diakses. Siapa saja bisa membaca.
Maka, sentuhlah semua elemen masyarakat dengan kedua tangan!
Karena Indonesia tidak hanya di kota, namun juga di tepi pantai, di atas bukit, di dalam hutan, di antara pematang sawah, di mana-mana…
***
*Referensi pada hyperlink.
*Sumber gambar:
http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2011/03/1299134559972011283.jpg
http://rakyataceh.co/wp-content/uploads/2014/06/operasi-pasar.jpg
http://satunusanews.com/wp-content/uploads/2015/04/wpid-140904079UangElektronik1.jpg