Mohon tunggu...
Baiq Dwi Suci Angraini
Baiq Dwi Suci Angraini Mohon Tunggu... Penulis - Menulislah Untuk Mengubah Arah

Pegiat dan penikmat karya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sistem Islam sebagai Control of Abuse

30 Oktober 2020   18:30 Diperbarui: 30 Oktober 2020   18:32 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditulis oleh : Baiq Dwi Suci Anggraini, S.Psi

Diterbitkan : Lombok Post Edisi 22 April 2018

Sangat disayangkan sekali kekerasan seksual di Indonesia setiap tahun angkanya semakin meningkat. Hal ini menunjukkan tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tindak asusila yang menyebabkan banyak kaum wanita dan anak-anak jadi korban. Dari tahun ke tahun, tingkat pelecehan dan kekerasan seksual sudah seperti wabah yang menjangkit masyarakat dan sangat sulit dimatikan. Pelakunya seolah diberi tempat, sehingga publik terus merasa was-was dan tak aman dari gangguan. Bahkan yang lebih mengerikan, sarana transportasi menjadi tempat berlangsungnya kekerasan seksual di ranah publik.

Baru-baru ini marak diberitakan berbagai isu pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru agama di Tangerang. Awal tahun 2018 lalu tepatnya, seorang guru agama melakukan kejahatan seksual terhadap anak muridnya. Belakangan ketahuan bahwa modus pelaku untuk memuaskan hasratnya kepada anak-anak adalah dengan cara mengiming-imingi mereka sugesti yang sulit diterima akal sehat. Babe, begitu sapaannya, mengatakan kepada korban yang ditarget bahwa mereka akan mengalami kesialan hidup selama 60 hari apabila menolak diajak berhubungan intim. Di Surabaya, pada Januari 2018 seorang oknum guru juga diberitakan telah mencabuli 7 orang muridnya. (Sumber: Tribunnews.com)

Anehnya, kasus pelecehan seksual marak terjadi di Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim. Dimana seharusnya peran dan pemahaman umat islam lebih besar terhadap ajaran agama, namun hal ini sangat bertolak belakang dengan kesadaran serta ketaatan individu terhadap perintah syariat islam. Akibatnya muncul berbagai tindakan kriminal yang justru sebagian besar dilakukan oleh kaum muslimin. Terutama perkara yang menyangkut kekerasan seksual, pelakunya malah lebih banyak beragama islam, lebih-lebih merupakan para faqih fiddin atau orang-orang yang pandai dan mahir dalam urusan agama.

Fenomena memilukan tersebut menunjukkan bahwa angka pelecehan seksual tidaklah murni disebabkan kurangnya pemahaman seseorang, sebab orang-orang yang paham pun justru ikut terjebak dalam kubangan kemaksiatan. Tidak bisa dikatakan juga bahwa nafsu atau syahwat seseorang menjadi penyebab utama munculnya dorongan pelecehan terhadap kaum perempuan dan anak-anak sebagaimana yang dikampanyekan kaum feminis. Namun ada hal lain yang harus dipahami sebagai trouble maker segala permasalahan terjadi.

Dalam sistem sekuler, wanita misalnya, dipaksa melepaskan kewajiban pokok sebagai Ibu pengatur dan pengurus rumah tangga. Mereka dipaksa berkarir di ranah publik, sehingga waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengejar kebahagiaan semu berupa materi, bukan malah berlomba-lomba memenuhi fitrah dan tanggungjawab terhadap suami dan putra-putrinya. Padahal ini wajib disadari oleh kaum Ibu sehingga tidak latah menjadikan konsep feminisme dalam ranah kapitalisme saat ini sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan, sedangkan keamanan dan kenyamanan seorang wanita adalah di dalam rumah-rumahnya menjadi pendidik generasi sekaligus istri yang terjaga kehormatannya secara mulia.

Alih-alih melindungi, padahal sejatinya sistem sekuler justru menjadi indikasi bahwa sebaik apapun pemahaman agama seseorang tetap beresiko menjadi pelaku sekaligus penikmat kejahatan.

Sistem demokrasi bukan mendukung ketakwaan pribadi, namun justru menyediakan praktek-praktek prostitusi legal di muka umum. Perzinahan dilegalkan, LGBT diberi tempat, bahkan bandar miras dan perjudian tidak diberi sanksi. Dampaknya masyarakat senang melakukan kemaksiatan secara berkelompok karena didukung oleh kebijakan yang tidak pro terhadap ketaatan juga ketakwaan individu. Akhirnya muncul penyematan-penyematan mengerikan pada diri orang-orang yang dianggap bersih dan sholih. 

Lebih-lebih pemerintah abai dan terkesan seperti membiarkan permasalahan ini berlarut-larut tanpa memberikan kepastian hukum bagi para pelaku. Tidak ada sanksi yang tegas terhadap pelaku di depan hukum Indonesia, wajar muncul kejadian-kejadian serupa yang tak kalah mengerikan di tempat lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun