Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengubah Kekurangan Menjadi Kesempurnaan: Refleksi dari Krisnanda Catur

3 Januari 2017   00:10 Diperbarui: 3 Januari 2017   12:50 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi, Mahasiswa Tunanetra Krisnanda Catur

Sudah lebih 30 menit dari waktu yang ditargetkan untuk memulai, namun panitia acara yang bertajuk “international Seminar and Surgical Film of Jihad Selfie” tersebut masih saja lalu lalang mengecek ini-itu sembari menunggu datangnya pemateri. Sementara menunggu pemateri, saya mencoba menyerap artikel-artikel menarik yang saya akses melalui ponsel. Secara tak sengaja salah seorang pemuda yang lewat di depan menabrak kaki saya, dan pemuda satunya menyuruhnya untuk duduk tepat di kursi yang kosong sebelah saya. Tanpa basa-basi pemuda yang satunya langsung pergi meninggalkan ruangan Convention Hall tersebut. Menyadari keadaan seorang di sebelah, saya mencoba memahami kondisi, pemuda tunanetra tersebut duduk tenang, siap untuk mendengarkan materi.

Setelah molor lebih dari 50 menit barulah para pemateri dari The Asia foundation, Alive International, dan PUSAM memasuki ruangan. Seperti biasanya sebelum memulai acara formal selalu diiringi dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Saya lebih fokus memperhatikan pemuda tunanetra tersebut dengan lantang bernyanyi dari pada melafalkan lirik-lirik lagu kebangsaan tersebut. Hampir 2 jam berlalu tanpa sepatah pun kata keluar dari mulut kami meski duduk bersebelahan. Barulah setelah pemateri terakhir menyampakikan materinya, acara yang dilanjutkan dengan diskusi tersebut saya manfaatkan untuk mencoba menyapa kawan di sebelah tersebut.

Di tengah riuhnya lontaran uneg-uneg ataupun pertanyaan dari peserta yang mencoba menunjukkan eksistensi di hadapan banyaknya peserta acara tersebut, justru saya semakin gencar untuk mencoba mengenal lebih jauh sosok di sebelah saya. Krisnanda Catur, pengakuannya biasa dipanggil Nanda, mahasiswa semester 3 Bimbingan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga tersebut mulai cair untuk diajak ngobrol,  meski acara diskusi juga tetap berlanjut.

 Dia menceritakan tentang kehidupannya yang sebelumnya pernah dapat melihat, namun ketika menginjak SMA kelas 1 terjadi kecelakaan yang menyebabkan syaraf penglihatannya cukup terganggu, waktu itu belum mengalami kebutaan. Setelah kecelakaan tersebut dia pun menggunakan alat bantu penglihatan, dan lanjutnya ketika baru menginjak kelas 3 SMA, dia mencoba ikut kembali bermain voli, yang sebelumnya dia juga merupakan pemain inti di sekolahnya ketika ada even-even antar sekolah.

Secara tak sengaja bola yang datang dari arah berlawanan tersebut tepat mengenai bagian depan kepalanya, dari itulah penglihatannya mulai mengalami gangguan lebih parah hingga menjadi kebutaan. Sejak itu dia istirahat dari SMA untuk menjalani perawatan, padahal dia menceritakan meski penglihatan sudah tidak berfungsi lagi, dia bersikukuh untuk tetap melanjutkan sekolah di SMA tersebut. Akan tetapi pertimbangan orang tua dan pihak sekolah yang entah tidak dia ketahui jawaban mereka waktu itu, tidak memberikannya kesempatan lagi untuk melanjutkan sekolahnya di sana. Untuk tetap dapat mendapatkan pendidikan, Pemuda dari Ponorogo tersebut akhirnya dimasukkan ke lembaga Homeschooling. Dan dia katakan dirinya adalah satu-satunya siswa difabel di Homeschooling Reksonegaran tersebut.

Setelah merasa mantap dengan apa yang telah didapatkan di Homeschooling tersebut, dia pun mengajukan untuk melanjutkan SMA-nya yang sempat tertunda. Pada 2014 diputuskanlah dia akan melanjutkan di SMA-LB dan langsung masuk ke tingkat akhir. Lulus SMA tahun 2015 dia pun diuruskan berkas untuk mendaftar beasiswa Bidik Misi dengan standar nilai yang cukup memenuhi untuk mendaftar beasiswa tersebut. Pihak sekolah yang mendaftarkannya tersebut meminta pendapatnya untuk memilih antara Filsafat Islam dan Bimbingan Konseling Islam (BKI) yang akan dijadikan prioritas ketika mendaftar di UIN Sunan Kalijaga. Dia pun memilih BKI di pilihan pertama, dan ternyata diterima juga di jurusan tersebut.

Dia menceritakan ketika awal perkuliahan tidak ada pembedaan ataupun sekat antara yang difabel dan tidak, untuk menciptakan suasana inklusif di antara semua civitas akademik di kelas tersebut. Bahkan standar nilai untuk tugas pun disamaratakan juga. Ketika penulis menanyakan adakah kesulitan yang dia alami ketika mengerjakan tugas atau dalam memahami materi perkuliahan yang disajikan.

 Dia menjawab dengan mantap bahwa kesulitan tersebut bukan karena dia difabel, tetapi karena belum maksimalnya usaha yang dia lakukan untuk menyerap materi perkuliahan. Dengan kemajuan teknologi untuk memudahkan, buku-buku materi perkuliahan di-scan lalu dibaca dengan aplikasi pembaca layar (salah satu aplikasinya "George") dan diubah menjadi audio. Dengan begitu materi-materi yang dia dapatkan dari perkuliahan akan relevan dan terekstraksi dengan referensi yang dia serap juga dari buku tersebut.

Begitu juga dengan materi kitab kuning untuk kuliah tafsir atau bahasa Arab, kesulitan yang dia alami sebab penguasaan bahasa Arabnya yang masih minim. Seperti halnya konsep penyerapan materi dari buku-buku berbahasa latin, kitab-kitab berbahasa Arab itu pun dia dapatkan dalam bentuk scan-an dan dibaca juga dengan aplikasi pembaca layar. Perjuangannya untuk terus memahami bahasa Arab sedikit demi sedikit mulai bagus dengan ketekunannya dan bimbingan yang dia dapatkan ketika belajar Al Qur'an. Pemahamannya tentang kuliah tafsir yang dia dapatkan pun mulai ada titik terang sebagai bekalnya untuk menghadapi ujian akhir semester.

Ketika penulis menanyakan lokasi tempat tinggalnya, cukup terkejut sebab asrama khusus pelajar tunanetra yang dia sebutkan berjarak perjalanan sekitar 1 jam dengan sepeda motor. Nanda menceritakan pengalamannya beberapa kali menggunakan Bus Transjogja yang haltenya di depan kampus UIN Sunan Kaliajaga. Pernah satu kali dia yang salah naik bus dengan jalur bus yang muter-muter terlebih dahulu, terpaksa melewatkan 3 mata kuliah karena belum juga sampai kampus. Akan tetapi kesehariannya lebih banyak diantar ojek yang disewa oleh pihak pengurus asrama untuk mengantar para pelajar tunanetra tersebut.

Terbayang bagaimana ketika tidak ada kekhususan bagi mahasiswa tunanetra di dalam kelas tersebut, saya terpikir bagaiman dia menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang diberikan oleh dosen. Dia menceritakan kebanyakan tugas untuk semester pertama kemarin adalah tugas kelompok, ada beberapa juga tugas mandiri dan dapat dia selesaikan juga dengan bantuan temannya. Bantuan yang dimaksud bukan berarti temannya yang mengerjakan tugas tersebut, namun dia sendiri dengan bantuan penjelasan dari temannya. Untuk menulis tangan dia pun bisa akan tetapi dengan hasil yang tidak lurus. Dan beberapa tugas mandiri juga dikumpulkan dalam bentuk makalah, dia pun mengakui mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan komputer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun