Mohon tunggu...
Bahtiar Hayat Suhesta
Bahtiar Hayat Suhesta Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penulis, konsultan IT.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

N5M yang Terlalu 'Man Jadda Wajada'

14 April 2012   15:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:36 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Anak saya yang masih SD kelas II berteriak dalam gelap studio ketika Alif dan ayahnya memasuki gerbang kota Reyog itu. “Lho, itu kan kotanya Ayah! Ponorogo!” teriaknya sambil menunjuk layar lebar. Sebuah gerbang kota yang dilengkapi patung reyog berikut perangkat dan punggawanya dengan tulisan PONOROGO di tengahnya terlihat jelas. Cuma orang Ponorogo seperti saya, barangkali, yang tahu kalau gerbang itu dibangun jauh sesudah tahun 80-an ketika Alif muda menimba ilmu di Pondok Madani.


Menghadirkan suasana tempat tahun 80-an cukup berhasil di film ini. Tidak saja secara eksplisit kalender dan pernak-pernik lainnya cukup teliti ditulis dan ditampilkan mengikuti tahun kejadian, tetapi juga suasana kota Ponorogo yang masih ‘sepi’. Ketika sahibul menara membawa es dari kota ke pondok, seting kanan-kiri jalan yang mereka lalui masih dipenuhi hamparan sawah bertanamkan padi. Jalanan pun sepi. Jika saja seting itu diambil tepat di jalan menuju Gontor kini, hamparan itu sudah tidak ‘perawan’ lagi. Rumah, toko, warung dawet Jabung berserakan di sana-sini. Jalanan pun sudah ramai kini.


Di luar itu, danau Maninjau, rumah Minang berikut dialek di mana keluarga Alif tinggal, cukup dikemas apik. Sejak Alif di rumah, lalu ia dan ayahnya memasuki gerbang kota Ponorogo, tiba di Pondok Madani pertama kali, hingga tampilnya ustadz Salman, saya masih merasakan kekuatan ‘film’ ini dari sisi sinematografis. Setelah itu, tak ada yang istimewa. Bahkan Bandung dan London yang ditampilkan cuma sebentar malah menjadi klilip (debu di mata).


Tentang Sarah yang ‘Tidak Pada Tempatnya’


Saya juga sedikit ‘menyayangkan’ hadirnya Sarah dalam film ini. Sekedar pemanis? Pembangkit konflik? Biar lebih ‘seger’? Bahkan saya juga menyayangkan adegan tersebut ada di dalam versi novelnya.


Betapapun modern-nya Gontor, tetapi percampuran laki-laki dan perempuan, sebagaimana digambarkan dalam film (misalnya, satu tempat bermain badminton), sangat dijaga agar tidak terjadi di pondok. Apalagi pondok salafiyah yang lebih tradisional. Pondok Gontor Ponorogo adalah pondok khusus putra. Seluruh santrinya laki-laki. Ahmad Fuadi pasti tahu tentang hal itu, karena ia mengalaminya sendiri. Sementara Gontor putri terpisah dari Gontor putra, bahkan sangat jauh. Pondok Gontor Putri I, II, dan III berada di Mantingan, Ngawi, Jawa Timur; sekira 2 jam perjalanan dari Ponorogo. Setahu saya, baik pondok putra maupun putri memiliki aturan yang sangat ketat tentang pergaulan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim-nya.


Karena itu, menghadirkan tokoh Sarah dalam cerita berbasis pesantren putra seperti N5M, buat saya mencederai ‘kesucian’ pondok yang ketat menjaga agar tidak terjadi ikhtilat (percampuran) antara santri laki-laki dan perempuan.


Apalagi kehadiran Sarah, buat saya, tidak signifikan dalam film ini. Wujuduhu ka’adammihi. Adanya sama saja dengan ketidakadaannya. Jadi, mengapa dipaksakan untuk ditampilkan? Jangan-jangan para orang tua yang semula ingin memasukkan anaknya ke Gontor malah mengurungkan niatnya hanya karena melihat adanya ‘percampuran’ pria-wanita dalam pondok ini di dalam film ini. Sangat disayangkan, bukan?


Apresiasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun