Mohon tunggu...
Mikchel Naibaho
Mikchel Naibaho Mohon Tunggu... Novelis - Pembaca. Penjelajah. Penulis

Pegawai Negeri yang Ingin Jadi Aktivis Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intoleransi: Dari Curiga Jadi Benci

3 Maret 2018   08:41 Diperbarui: 3 Maret 2018   09:11 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita mungkin sudah bosan dan sedikit pesimis dengan cara 'memadamkan api dengan siraman cinta'. Apalagi belakangan ini di media sosial kita semakin sering mendengar kalimat 'bila yang waras mengalah, maka orang gila akan menguasai dunia'. Tetapi dapatkah api yang sedang membakar toleransi kita dipadamkan dengan api kemarahan? Kita memang harus melawan. Tetapi sebelum mengobarkan perlawanan, kita harus mengenal siapa 'musuh' kita, dimana kita 'berperang' dan siapa 'teman' kita yang juga berusaha menjaga kebhinekaan bangsa ini.

Musuh kita adalah saudara sebangsa setanah air, kita 'berperang' dalam pelukan Ibu pertiwi, dan teman kita juga saudara sendiri. Dengan kata lain, kita sedang dalam 'perang saudara'. Kita tentu tak mau kehilangan saudara karena perang, oleh sebab itu, kita akan melawan tanpa membuat api semakin berkobar. Itu sebabnya, sebelum melawan kita harus paham kenapa intoleransi ada dan kenapa belakangan ini semakin masif.

Intoleransi terjadi karena adanya kebencian. Dan kebencian ada karena kurang mengenal satu sama lain. Bayangkan bila kita telah mengenal seseorang seutuhnya, apapun yang dia lakukan kita akan memaklumi. Dan mencoba meminimalisir resiko terhadap apa yang dilakukannya tanpa dimintanya. Hal seperti inilah yang perlu kita lakukan pada masyarakat negeri ini.

Tetapi saat ini di negeri kita, setiap penganut agama sudah terlanjur saling curiga. Keadaan ini mempersulit keinginan untuk saling mengenal. Sebab yang muslim curiga akan adanya Kristenisasi, demikian juga sebaliknya. Yang mayoritas curiga kaum minoritas menyusun rencana untuk melawan, demikian juga sebaliknya yang minoritas sudah 'menderita' sindrom minoritas, yakni selalu merasa ditekan dan dipersulit.

Maka langkah pertama yang perlu kita lakukan untuk melawan sikap intoleransi atau kekerasan terhadap pemeluk agama yang berbeda adalah mengkampanyekan perlawanan terhadap rasa curiga sesama anak bangsa. Mengkampanyekan bahwa rasa curiga hanya membebani kita dan membuat kita tak bebas berekspresi dan berkreasi. Mengkampanyekan bahwa sikap saling curiga di antara sesama anak bangsa adalah strategi penjajah untuk memecah belah kita. Mengkampanyekan bahwa mengetahui ajaran agama lain akan memperkaya diri kita sendiri.

Setelah 'membunuh' rasa curiga di antara kita, selanjutnya yang kita lakukan adalah mengikis kebencian. Cara paling mudah yang bisa kita lakukan untuk mengikis kebencian adalah membiarkan yang seiman berdebat dan berdiskusi tentang ajaran agama mereka. Yang berbeda keyakinan tak perlu ikut membela salah satu pihak, atau malah mengolok yang lain. Misalnya, yang Muslim berdebat dengan Muslim lainnya, yang Kristiani tak perlu ikut 'membela' pihak yang sepemikiran dengannya.

Cara lain untuk mengikis kebencian, kita perlu mengapresiasi pilihan keyakinan seseorang. Kita tentu sudah sering mendengar bahwa setiap agama mengajarkan hal yang baik, maka kita perlu mengapresiasi yang baik dalam setiap ajaran agama lain. Mulailah menuliskan kebaikan atau kekaguman kita itu di media sosial. Misalnya, seorang Kristiani yang kagum pada ketaatan dan kesanggupan seorang Muslim melaksanakan ibadah puasa. Atau seorang Muslim yang mengagumi kesetiaan pemeluk agama lokal di tengah gempuran arus modernisasi.

Dan langkah terakhir untuk melawan intoleransi, berbaurlah dengan orang sekitar. Selalu aktif dalam kegiatan masyarakat di sekitar tempat tinggal kita, akan membuat kita semakin akrab dan semakin menghormati. Bahkan kita saling menguatkan bila tetangga dapat masalah. Bukankah sikap seperti ini sudah dipraktekkan nenek moyang kita sejak dulu, dan terbukti ampuh menjaga kebhinekaan kita hingga kini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun