Mohon tunggu...
Baharudin Pitajaly
Baharudin Pitajaly Mohon Tunggu... -

penikmat Kopi, peminat ikan Kakap

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Negara Paranoid dan Kelicikan Siasat Barat

7 Juni 2016   17:20 Diperbarui: 7 Juni 2016   20:32 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Pancasila Sakti. Rappler.com

Jose Ortega Y Gasset “Masa lalu bukan karena dia terjadi pada orang lain tetapi karena ia membentuk bagian-bagian kehidupan kita masa kini. Kehidupan sebagai realitas menjadi kehadiran absolut : kita tidak bisa mengatakan tidak pada sesuatu apapun kecuali yang hadir pada masa kini, karena ada masa lalu yang 'aktif' pada masa kini” 

Akhir-akhir ini kita sering disuguhi berita media soal penggunaan simbol-simbol, komunis/PKI yang akhirnya menimbulkan perdebatan pro dan kontra mewarnai hiruk pikuk dinamika sosial-politik hari ini, isu munculnya kembali hantu komunisme membuat kita sesama anak bangsa saling tuding pun tak terelakkan baik di kalangan pemerintah maupun aktor pro demokrasi.  

Seolah tidak ada lagi hal yang mendasar dan pokok dari bangsa ini yang harus di bicarakan dan diselesaikan. Semua energi anak bangsa di sedot dan menyita perhatian publik isu terkait komunis, simbol, dan kebangkitan PKI yang punya sejarah kelam masa lalu. Peristiwa ini tercatat sebagai peristiwa pembantaian sesama anak bangsa paling tragis terjadi di Indonesia.

Sejarah yang sesungguhnya lebih disebabkan atas konspirasi, intrik, serta rekayasa sosial-politik dan bahkan manipulasi dilakukan oleh AS dalam Grand Strategy dan orde baru dipaksakan menjalani itu dengan menggunakan media penghasrat seperti TV. 

Yang selalu dipertontonkan kepada kita semua sebuah film G30S/PKI dan atau buku yang menarasikan korban kekerasan pembantaian PKI, berdasarkan orderan atau selera penguasa kala itu, yang ditulis dengan menggunakan pilihan-pilihan diksi pembenaran pembantaian sesama anak bangsa.  

Isu ini sebenarnya tidak berdiri tanpa didorong oleh kelompok tertentu yang sebenarnya berangkat dari ide dan gagasan negara harus meminta maaf atas korban pembantaian 65. Atau sebuah acara yang dipersiapkan misalkan Simposium 65 yang telah digagas beberapa waktu lalu. Kekeliruan negara dalam soal ini adalah terlalu reaktif dalam merespon sebuah pernyataan permintaan maaf dalam keterlibatan dan pembantaian sesama anak bangsa.  

Penggunaan simbol, atau kebangkitan kembali hantu Komunis. Negara terlihat seperti orang yang mengidap penyakit paranoid dan akhirnya langkah yang di tempuh adalah meminta aparat membumi hanguskan tidak semata simbol palu dan arit yang di gunakan dalam bentuk kaos atau lainya, namun juga buku-buku yang bertuliskan tentang Marxisme-Lenisme, atau PKI.

Padahal tidak pada sisi itu yang harus di urus dan diseriusi oleh negara. Dalam memenuhi rasa adil para korban hanya bisa terwujud kalau negara mau dengan jujur dan niat tulus melakukan rekonsiliasi, meluruskan sejarah, hingga memulihkan nama baik orang-orang yang sudah dilekatkan dengan stigma komunis dan tidak bisa dengan nyaman hidup dan tinggal di negaranya sendiri. Itu sebagai prasyarat mengangkat harkat martabat para korban dan kejernihan sejarah.  

Setali tiga uang kelompok-kelompok yang katanya pro demokrasi telah disebutkan di atas juga sesungguhnya berlebihan dalam memperjuangkan hak para korban 65 hingga mampu menggesar opini publik, seolah kesalahan sepenuhnya ada pada negara hingga wajib meminta maaf atas PKI dan para korban yang telah dihilangkan dengan paksa atau sengaja dimusnahkan.  

Yang banyak dari kelompok mereka tidak di ketahui publik adalah apa yang di lakukan juga bagian dari by design asing lewat lembaga donor yang mengucurkan uang sehinga “kelompok” ini dengan leluasanya  memainkan peran-peran strategis dan perpanjangan tangan asing sebagai agent of change yang menguat pada era Reformasi dan munculnya tema-tema gerakan civil society.  

Kelompok ini sebenarnya ikut menguatkan atau mengendorse kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat, padahal kalau mau dilihat dengan detil ini bagian dari cara asing mengunci dan menghegemoni kita sebagai bangsa termasuk dalam konteks wacana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun