Mohon tunggu...
Bagus Ubhara
Bagus Ubhara Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Pasca

Magister Hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Densus Tipikor: Ketika Pemberantasan Korupsi Menjadi Perlombaan

16 Oktober 2017   23:12 Diperbarui: 16 Oktober 2017   23:26 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada yang sedikit mengganjal di benak saya ketika saya membaca komentar salah satu anggota DPR dari Komisi 3, bahwa pembentukan Densus Tipikor ini dianggap sebagai langkah yang bagus karena akan memberikan kompetisi bagi KPK, agar KPK tidak mendominasi pemberantasan korupsi. 

Saya jadi agak ngeri membayangkan pemberantasan korupsi sebagai sebuah perlombaan para APH (Aparat Penegak Hukum).  Memberantas korupsi menurut saya tidak boleh dijadikan perlombaan, karena akan menjadi rawan sekali pada penanganan nya, bisa rawan salah tangkap karena motivasi memenangkan 'perlombaan/kompetisi'. 

Memberantas korupsi bukanlah perlombaan. Tidak boleh menjadi perlombaan, melainkan seharusnya dijadikan sinergi sesempurna mungkin untuk menyelesaikan masalah korupsi di negeri ini. Bukankah korupsi itu sendiri telah menjadi kejahatan yang sistematis? Bagaimana mungkin ditangani melewati sebuah perlombaan? dia harus ditangani secara sistematis pula. Lewat koordinasi, sinergi, kerjasama yang sistematis, kompak, visi yang sama, dst. Perlombaan membuat faktor sistematis menjadi kabur. 

Menjawab Urgensi Densus

Saya pribadi tidak setuju pembentukan densus tipikor mengingat akan banyak menghilangkan fungsi kontrol horizontal antar lembaga. Ide dasar densus adalah penyatuan fungsi penyidikan dan penuntutan dibawah satu atap. Ini sy khawatir akan memperlemah kontrol horizontal (dimana penyimpangan satu lembaga, misalnya penyidikan di pihak Kepolisian, maka akan berjalan kontrol dari pihak Kejaksaan selaku pemilik kewenangan penuntutan). 

Sudah cukup KPK yang memiliki lex spesialis dalam hal menyimpangi asas differensial fungsional, karena karakter tipikor yang memang extra-ordinary, namun tidak perlu lembaga lain ikut menyimpangi, karena akan menjadi rancu karakter lex spesialisnya (dua-duanya menjadi lex spesialis, artinya tidak ada spesialis lagi). Kepolisian dan Kejaksaan menurut saya biarlah tetap mengacu ke KUHAP. Masih banyak perkara/kejahatan lain yang ditangani diluar tipikor. Bahwa KPK telah berusia 15 tahun dan dianggap korupsi masih meraja lela, lihatlah indeks korupsi yang semakin membaik (sudah nomor 3 di ASEAN, diatas Thailand, Vietnam, tinggal mengalahkan Singapura dan Malaysia).  

Kekhawatiran Tentang Dominasi KPK 

Ini juga agak membingungkan. Mengapa harus takut KPK mendominasi pemberantasan korupsi? Setiap lembaga memiliki kekhususan di bidangnya masing-masing. Kejaksaan misalnya mendominasi penuntutan (dominus litis).  Mengapa tidak diberikan kompetisi dgn membuka monopoli kewenangan menuntut? 

Karena penuntutan membutuhkan fungsi koordinasi yang baik. Jika dibuka, akan terjadi kekacauan. Demikian juga pemberantasan korupsi. Lebih baik tetap diserahkan kepada KPK. Tidak semua perlu diberikan kompetisi. Meskipun demikian, perlu diberikan kontrol yang kuat terhadap lembaga-lembaga yg memiliki dominasi bidang tertentu karena dominasi berupa monopoli itu rawan sekali penyimpangan. 

Strategi Pemberantasan Korupsi

Menurut saya, yang sebenarnya dibutuhkan itu bukan lagi lembaga baru atau satgas baru, atau unit yang lain dari yang sudah ada. Yang dibutuhkan adalah strategi bersama dengan memanfaatkan resource yang sudah ada (peraturan perundang-undangan sudah lengkap, mulai dari UU Tipikor, UU KPK, UU Pengadilan Tipikor, bahkan ratifikasi UNCAC, dst). Ibarat, kita membangun sebuah jaringan jalan yang baru di sebuah kota dimana muncul probelm bgmn mencegah terjadinya kecelakaan di jalan raya yang baru tersebut? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun