Mohon tunggu...
Bagus Rahmat Prabowo
Bagus Rahmat Prabowo Mohon Tunggu... HIV Regional Prevention di UNAIDS Asia-Pacific

Seorang dokter untuk sexual and reproductive health. Concern terhadap HIV dan AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Harm Reduction: Kontroversi Penanggulangan Napza atau Solusi Tak Terhindarkan?

11 Februari 2025   13:15 Diperbarui: 11 Februari 2025   13:15 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bayangkan sebuah peperangan yang terus berlanjut selama puluhan tahun, menghabiskan triliunan rupiah, tetapi tidak pernah benar-benar menang. Inilah yang terjadi dengan kebijakan narkotika di banyak negara---lebih mirip pertempuran yang tidak ada ujungnya daripada solusi yang nyata. Pengguna narkotika terus diburu, dipenjara, bahkan dihukum mati, tetapi apakah itu membuat angka pengguna berkurang? Tidak. Yang ada, pasar gelap semakin subur, jaringan kriminal semakin kuat, dan angka infeksi HIV di kalangan pengguna narkotika suntikan justru meningkat.

Lalu muncul konsep harm reduction, pendekatan berbasis bukti yang menawarkan solusi lebih realistis. Gagasan ini bukan baru lahir kemarin. Harm reduction mulai berkembang di era 1980-an, terutama sebagai respons terhadap epidemi HIV/AIDS yang melanda komunitas pengguna narkotika suntikan. Dengan semakin tingginya angka infeksi akibat penggunaan jarum suntik secara bergantian, para ahli kesehatan masyarakat mulai mencari solusi yang lebih efektif daripada sekadar memenjarakan pengguna. Mereka menyadari bahwa ancaman terbesar bukan pada substansi yang dikonsumsi, tetapi pada dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

Sejarah mencatat bahwa harm reduction pertama kali mendapatkan pijakan kuat di Eropa, terutama di Belanda dan Inggris, di mana program pertukaran jarum suntik dan terapi substitusi opioid mulai diperkenalkan. Seiring berjalannya waktu, banyak negara lain mengikuti jejak ini karena terbukti menurunkan angka infeksi HIV dan overdosis. Tetapi, anehnya, konsep ini malah dianggap kontroversial oleh mereka yang lebih nyaman menutup mata dan tetap bertahan pada kebijakan usang yang terbukti gagal. Bagi sebagian besar politisi konservatif, ide memberikan layanan kesehatan kepada pengguna narkotika masih dianggap sebagai bentuk "pembiaran," bukan sebagai strategi menyelamatkan nyawa.

Jika kita mau jujur, pendekatan yang lebih masuk akal bukanlah dengan menakut-nakuti pengguna narkotika, tetapi dengan memastikan mereka bisa mengakses layanan kesehatan yang mencegah dampak buruk dari penggunaannya. Portugal adalah salah satu negara yang membuktikan bahwa dekriminalisasi kepemilikan narkotika dalam jumlah kecil, jika dikombinasikan dengan layanan kesehatan yang kuat, bisa menghasilkan dampak luar biasa. Setelah kebijakan ini diterapkan, angka infeksi HIV di kalangan pengguna narkotika turun drastis, tingkat overdosis berkurang, dan masyarakat yang dulu panik melihat pengguna narkotika di jalanan mulai melihat perubahan positif. Perubahan ini tidak hanya terjadi pada angka statistik, tetapi juga pada cara masyarakat memandang pengguna narkotika. Dengan berkurangnya pengguna yang terlihat di ruang publik, hilangnya ketakutan akan kejahatan terkait narkotika, serta meningkatnya pemahaman bahwa pengguna narkotika adalah individu yang membutuhkan perawatan, masyarakat pun mulai melihat kebijakan ini sebagai solusi yang lebih manusiawi dan efektif dibandingkan pendekatan represif.

Swiss juga punya pendekatan yang menarik. Negara ini bahkan menyediakan ruang suntik aman yang diawasi tenaga medis. Bagi yang masih berpikir bahwa kebijakan ini adalah bentuk "pembiaran," lihat saja datanya: infeksi HIV di kalangan pengguna narkotika menurun, angka kematian akibat overdosis juga turun, dan, yang lebih penting, orang-orang yang dulu mengonsumsi narkotika secara sembunyi-sembunyi akhirnya mendapatkan akses ke layanan rehabilitasi yang layak. Apakah ini berarti Swiss "mendukung" penggunaan narkotika? Tidak. Mereka hanya sadar bahwa pendekatan berbasis kesehatan lebih masuk akal daripada sekadar mengandalkan penjara.

Sementara itu, di Kanada, kebijakan berbasis harm reduction berkembang dengan cepat. Selain mendukung terapi substitusi opioid seperti metadon dan buprenorfin, Kanada juga mulai mengedukasi masyarakat tentang penggunaan nalokson untuk mencegah overdosis. Hasilnya? Nyawa yang bisa diselamatkan lebih banyak dibandingkan dengan kebijakan yang sekadar mengandalkan hukuman.

Di Indonesia, situasinya masih jauh dari ideal. Baru-baru ini, menteri Yusril Ihza Mahendra, mengusulkan agar pengguna narkotika tidak lagi dipenjara, mengingat kondisi lapas yang sudah melebihi kapasitas. Usulan ini sebenarnya sejalan dengan amanat Undang-Undang Narkotika yang menekankan rehabilitasi bagi pengguna. Namun, kebijakan ini menuai penolakan. Saat menyimak Radio Elshinta sambil menyetir mobil pulang dari kantor, saya mendengar seorang profesor hukum yang marah-marah menentang usulan tersebut, dan pendengar lainnya sepakat, menyatakan bahwa pengguna narkotika memang seharusnya dipenjara. Padahal, pendekatan berbasis kesehatan jauh lebih masuk akal dan terbukti efektif dalam menekan angka kriminalitas dan penyebaran penyakit menular seperti HIV. Meski program terapi substitusi opioid dan pertukaran jarum suntik sudah ada, kebijakan hukum yang kaku dan stigma yang masih kuat membuat layanan ini sulit diakses oleh mereka yang benar-benar membutuhkannya. Alih-alih membantu pengguna narkotika untuk mengurangi dampak buruk dari penggunaannya, kebijakan kita malah sering kali membuat mereka semakin terpinggirkan. Ketakutan akan penangkapan dan stigma sosial justru membuat mereka enggan mencari bantuan.

Padahal, kalau kita merujuk pada Undang-Undang Narkotika di Indonesia, khususnya Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009, pengguna narkotika sebenarnya bukan pelaku kejahatan, melainkan korban yang seharusnya mendapatkan rehabilitasi. Dalam praktiknya, pengadilan sering kali tetap menjatuhkan hukuman pidana bagi pengguna narkotika, meskipun undang-undangnya sendiri mengamanatkan rehabilitasi sebagai pilihan utama. Ini jelas bertentangan dengan pendekatan berbasis kesehatan yang dianut oleh banyak yang sudah berhasil menurunkan masalah kesehatan masyarakat akibat narkotika. Bukannya membantu korban narkotika keluar dari ketergantungan, sistem hukum kita justru memasukkan mereka ke dalam penjara, tempat di mana akses terhadap perawatan kesehatan dan rehabilitasi sangat terbatas.

Dan sekarang, seolah tantangan domestik belum cukup, ada badai lain yang datang dari level global. Dengan kembalinya Donald Trump ke panggung politik Amerika Serikat, serangkaian executive order baru mulai bermunculan---banyak di antaranya bertentangan dengan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat, termasuk dalam penanganan HIV dan penggunaan narkotika. Saat menjabat dulu, Trump pernah memangkas dana untuk program berbasis harm reduction dan mengembalikan kebijakan yang lebih represif terhadap pengguna narkotika. Kali ini, dengan kampanyenya yang semakin konservatif dan retorikanya yang semakin keras terhadap penggunaan narkotika, bukan tidak mungkin kebijakan ini akan kembali diperketat.

Kenapa ini penting bagi Indonesia? Karena banyak program pencegahan HIV dan harm reduction di negara ini---termasuk distribusi jarum suntik, terapi metadon, dan layanan bagi populasi kunci---sebagian besar masih bergantung pada dukungan internasional, termasuk dari Global Fund dan PEPFAR (dana yang dikelola AS). Jika pemerintahan AS kembali mengadopsi pendekatan keras terhadap narkotika dan menurunkan dukungan finansial untuk harm reduction, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan sebagian sumber dayanya. Artinya? Program yang selama ini sudah berjalan dengan susah payah bisa terganggu, dan lebih buruk lagi, pendekatan berbasis kesehatan bisa semakin sulit diterapkan di negara ini.

Dalam HIV Prevention 2025 Road Map, yang dipimpin oleh UNAIDS, harm reduction menjadi salah satu strategi utama dalam menekan angka infeksi HIV di kalangan pengguna narkotika suntikan. Pendekatan ini mencakup terapi substitusi opioid, pertukaran jarum suntik, serta layanan kesehatan yang dirancang untuk mengurangi dampak buruk dari penggunaan narkotika. Sayangnya, di banyak negara, termasuk Indonesia, kebijakan berbasis bukti seperti ini masih dianggap kontroversial dan sering kali mendapat perlawanan. Padahal, berbagai studi telah menunjukkan bahwa harm reduction bukan hanya menyelamatkan nyawa tetapi juga mengurangi beban sistem kesehatan dan sosial akibat kriminalisasi pengguna narkotika. Jika pendekatan ini diterapkan secara lebih luas, bukan tidak mungkin Indonesia bisa melihat hasil serupa dengan negara-negara yang sudah lebih dulu mengadopsinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun