Mohon tunggu...
Bagus AW
Bagus AW Mohon Tunggu... Wiraswasta - blogger

Seorang pria dengan cita-cita punya blog berpenghasilan puluhan juta rupiah per bulan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menjadi Wartawan Membuat Saya Belajar Tiga Hal Penting dalam Hidup, Sabar, Ikhlas dan Bersyukur

25 Januari 2021   08:35 Diperbarui: 25 Januari 2021   09:03 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Menjadi seorang jurnalis bukanlah pekerjaan yang mudah. Bagi saya kerja jurnalis itu kerja yang berat. Jurnalis selalu dituntut siaga 24 jam. Selalu sedia liputan kapan saja dan dimana saja. Tidak hanya fisik tapi mental jurnalis juga harus baja. Karena setiap hari kita bisa dipertemukan dengan berbagai keadaan dan beragam narasumber dengan segala macam karakter. 

Tidak hanya otak yang harus encer. Otot juga musti tangguh. 

Mejadi jurnalis adalah kenikmatan yang saya terima sejak 3 tahun lalu. Ayah saya yang seorang jurnalis mungkin juga tidak mau anaknya jadi jurnalis. Tapi keadaan berkata lain. Jadilah saya seorang jurnalis juga. 

Saya sangat paham bagaimana konsekuensi dan resikonya. Saya paham bagaimana cara kerja menjadi jurnalis karena terbiasa melihat ayah saya, bahkan sejak kecil. 

Banyak orang memandang pekerjaan kita ini menyenangkan. Bisa pergi ke mana saja, bertemu siapa saja mulai orang kecil di pinggiran sampai pejabat dan pastinya tidak terikat jam kerja. 

Tidak perlu pakai seragam rapi, berangkat pagi pulang sore. Banyak uang, pokoknya menyenangkan sekali menjadi jurnalis. Tapi itu dimata orang, yang mungkin tidak tahu dan saya yakin mereka belum merasakan bagaimana rasanya menjadi wartawan. 

Tidak pergi ngantor bukan berarti kita tidak punya job desk. Setiap malam atau pagi hari sekali, atasan kita (Kabiro) selalu memberikan arahan kerja buat kita kerjakan. Belum lagi dengan perintah-perintah liputan sana sini yang tidak bisa dibantah. 

Terkadang tidak ada job desk atau perintah kantor. Artinya kita harus bergerak sendiri putar otak mau bikin liputan apa. Tidak jarang juga dalam sehari benar-benar tidak ada liputan. Kalaupun ada kemungkinan tayangnya kecil, terus buat apa liputan kalau ujungnya tidak tayang. Ibaratnya buat apa berjuang kalau cinta kita jelas bertepuk sebelah tangan. 

Gaji jurnalis itu kecil, apalagi buat wartawan online seperti saya. Satu berita yang tayang hanya dihargai puluhan ribu rupiah saja. Bisa terbayang bagaimana jadinya kalau dalam sehari tidak satupun berita yang tayang. Bisa migran. 

Terlepas dari itu sebenarnya saya tidak menyesal bekerja jadi jurnalis. Karena memang sudah jalannya. Saya menganggap ini sudah takdir dari Yang Maha Kuasa buat saya. Atau saya selalu menganggap ini cara Tuhan menguji saya sebelum mempercayakan saya melakukan kerja yang lebih besar lagi. 

Sejujurnya di balik semua lika-liku ini saya belajar banyak hal. Banyak hal yang saya anggap bisa mendewasakan hidup saya karena menjadi jurnalis. Terutama masalah kesabaran, ikhlas dan rasa syukur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun