Karenanya, saya semakin meyakini bahwa segala sesuatu memiliki unsur non-materi. Sehingga, keindahan begitu hidup dan berenergi; seperti halnya cotton castle. Bahkan, saya---menyangka- telah merasakan sepercik keindahan itu sendiri. Unsur non-materi itulah yang memanifestasikan keindahan bagi segala hal yang dapat dikenali, dirasakan, dan direspon panca indera. Juga yang tak mampu dikenali, dirasakan, dan direspon alat indera.
Pengalaman tersebut saya alami ketika sedang berada di tengah-tengah cotton castle. Di depan tempat saya berdiri, juga terlihat lebih jelas serangkaian air terjun yang mengalir lembut dan pelan. Para pengunjung masih berlalu lalang. Sepupu saya, Hanif, menjadi satu-satunya anggota keluarga yang berendam di kolam air panas. Dia juga melumuri sekujur tubuhnya dengan pasir putih keabu-abuan yang kelihatannya bagus dipakai untuk kulit. Akibat terpancing tingkah Hanif, saya mencoba untuk merasakan air itu sembari mengambil segenggam pasir basah. "Mungkin asyik kalau berendam," ucap saya dalam hati.
Selepas menikmati pemandangan di Pamukkale, kami kembali menuju bus yang segera berangkat ke hotel. Namun, Jihan mengajak kami untuk memandang kastil kapas dari area bawah yang terdapat taman dan kolam. Ada banyak angsa di sana, suaranya begitu lucu. Ayah saya mengambil momen dengan merekam apa yang sedang terjadi di taman itu. Tak berselang lama, kami menyudahi rekreasi di hari ketiga dengan bertolak ke hotel yang jaraknya sangat dekat dari cotton castle.Â
Mentari masih setia menemani ketika kami sampai di tempat penginapan yang sedang dalam perbaikan. Karena berada di kawasan Pamukkale, hotel itu menawarkan jasa secara khusus bagi yang ingin perawatan spa. Saya sedikit tergoda karena belum pernah sebelumnya, namun harganya cukup mahal. Pendek kata, saya akhirnya menolak tawaran terapis dan memilih cepat-cepat ke kamar yang telah ditentukan.
