Mohon tunggu...
Yan Bastian P
Yan Bastian P Mohon Tunggu... Freelancer - Investment Analyst and happy with Excel

@bagaspanggabean Life is to share

Selanjutnya

Tutup

Money

Sektor Hulu Indonesia Masih Membutuhkan IOC dan NOC

2 Agustus 2021   15:10 Diperbarui: 2 Agustus 2021   15:41 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin beberapa detik ada dari pembaca yang akan mengernyitkan dahi. Hhhm, apa tidak salah opini di atas? Kondisi pengelolaan bisnis hulu di Indonesia memang sudah pada tahap yang sangat mengkhawatirkan dari sisi competitive advantages. 

Bisnis migas di Indoensia seolah –olah kehilangan attractiveness dan sisi manisnya. Wah Kok bisa? Ini fakta yang mengejutkan “Banyak sekali big player yang sudah hengkang dari Indonesia. Yang paling fresh tentunya berakhirnya Chevron dari Wilayah Kerja Rokan.”

Terlepas dari prestasi maupun pencapaian di masa lampau, tentu perspektif yang dibangun adalah melihat masa depan. Ke depan SKK Migas memiliki visi untuk mewujudkan target produksi 1 Juta BOPD dan 12 BSCFD. Untuk mewujudkan hal tersebut, sudah terdapat rencana kerja dan strategi untuk mendukung pencapaian visi tersebut. 

Rencana kerja dan strategi yang diambil tidak bisa lepas dari eksekutor/ pelaksananya. Siapa dibalik eksekusi setiap rencana kerja akan menjadi sosok kritikal dalam pencapaian visi dan misi perusahaan.

Eksekutor yang baik sudah melalui proses yang cukup panjang dan segudang pengalaman. Bisnis migas Indonesia yang pertama kali ditemukan sejak 2 abad yang lalu sejak first discovery, tentunya juga telah melahirkan beberapa perusahaan yang eksis hingga saat ini. 

Secara umum perusahaan-perusahan ini terbagi atas 2 jenis berdasarkan kepemilikan saham yaitu International Oil Company (IOC) dan National Oil Company (NOC). Masing-masing perusahaan ini tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan sektor hulu migas di Indonesia. Mari kita lihat fakta-fakta menarik pengelolaan sektor hulu migas.

1. Bisnis hulu merupakan bisnis yang memiliki nature High Risk dan High Reward. Hal ini menjadikan bisnis di sisi hulu migas menjadi sangat unik. Keunikan ini juga menjadi pemicu kehadiran risiko bisnis migas. Salah satu risiko terbesar yaitu kerugian yang disebabkan oleh kegagalan kegiatan bisnisnya. Secara spesifik tentunya risiko kegagalan dalam pencarian sumber minyak dan gas bumi atau yang dikenal dengan eksplorasi.

Risiko kegagalan di masa eksplorasi terutama dengan nilai biaya yang cukup besar mungkin hanya bisa menjadi appetite bagi IOC dan NOC. Tentunya apabila menjadi risiko bagi BUMD akan mengakibatkan APBD yang terganggu. Hal ini sangat mengganggu keuangan daerah dan tentunya dapat berakibat pada dampak social dan finansial yang sangat besar.

2. Kondisi Lapangan Tua membutuhkan teknologi yang tepat dan efisien. Kondisi lapangan tua  merupakan lapangan migas yang memiliki masa produksi sudah lebih dari 30 tahun dan produksinya saat ini sudah < 20% dari peak production. Lapangan-lapangan tua sesuai dengan ilustrasi terlampir memiliki trend kenaikan biaya produksi sementara profil produksi telah jauh menurun.

Teknologi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan laju penurunan produksi dan dapat mengurangi production cost. Pengembangan research and technology yang telah di-apply oleh IOC dan NOC di negara lain merupakan tacid knowledge yang dapat digunakan sebagai benchmark untuk diaplikasikan di lapangan migas Indonesia.

3. Industri migas dibangun dan membutuhkan cash inflow dari pihak asing. Dana yang diperoleh untuk menarik pendanaan dari investor luar melalui IOC yang memiliki kapabilitas dan akses pendanaan yang lebih besar. Hal ini tentu akan menjadi tantangan untuk perusahaan local (BUMD). 

Bahkan sempat ada trend bahwa IOC dan NOC yang sudah memiliki lapangan produksi di Indonesia, cenderung untuk kembali berinvestasi dengan mengikuti Open Bidding atas Wilayah Kerja agar menambah portfolio asset di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari trend di sekitar tahun 2000an, dimana NOC dan IOC yang sudah memiliki asset produksi kembali mengikuti bidding asset eksplorasi, terutama di wilayah Kawasan Timur Indonesia.

Jadi jika kita sudah dapat target marketnya adalah IOC dan NOC, maka seharusnya yang dapat disiapkan oleh para stakeholder terutama regulator dan pengambil kebijakan adalah bagaimana menyiapakan insentif baik fiscal dan administrasi kepada mereka. 

Apa yang dapat disediakan oleh negara dapat berupa penyiapan data dan insfrastruktur yang mendukung. Apa yang dapat dilakukan oleh NOC Indonesia adalah secara aktif mencari partner yang memiliki kapabilas teknologi mumpuni dan pendanaan yang kuat.

Jawabannya ada pada bagaimana mengoptimalkan kemitraan dengan partner. Kemitraan merupakan praktik yang lumrah dilakukan oleh berbagai IOC dalam mengelola risiko dan menurunkan beban investasi.

Secara umum IOC akan cenderung memilki strategi untuk bermitra, bahkan secara ekstrim  menjadi mitra non operator.  Strategi dan kemitraan dari berbagai macam IOC dapat dilihat dari data berikut:

Dokpri
Dokpri

Hal ini tidak akan mengkerdilkan suatu IOC atau perusahaan terhadap kapabilitas. Bagaimanapun dalam pengelolaan bisnis, tentu return dan risk selalu berjalan beriringan. Toh tujuan yang ingin dicapai adalah target produksi dan postur keuangan yang menarik.

Prinsip kemitraan bukan berarti pro kepada asing, tetapi transfer alih teknologi, investasi. Selalu berpikir positif demi target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD, agra inisiatif yang dihasilkan dapat dilihat dari sisi positif. 

Pada dasarnya Production Sharing Contract (PSC) mengasumsikan seluruh kekayaan alam tetap dimiliki oleh negara sesuai dengan UUD tahun 1945 pasal 33 dan IOC maupun NOC bertindak sebagai kontraktor. Jadi proses exit-nya IOC dari Indonesia bukan berarti visi mungkin dapat dengan gampang tercapai, tetapi Visi dapat tercapai, tetapi akan lebih sulit.

Proses kemitraan akan meningkatkan value dari NOC Indonesia di mata investor dan lembaga pendanaan. Pencapain target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD tentu membutuhkan capital yang besar. Tidak mungkin bagi Pertamina untuk mencapai target tersebut tanpa adanya capital inflow dari IOC dan NOC lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun