Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Popularitas vs Kontroversial Era Media Sosial

4 Januari 2017   10:25 Diperbarui: 4 Januari 2017   16:07 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Membuat kreasi lipsnyc Dubsmash baik dari potongan lagu dan film menjadi keasyikan tersendiri bagi pengguna aplikasi tersebut. (Kompas/Riza Fathoni)

Semu | Pada suatu hari, dia mendatangi kami yang sedang asyik mengobrol. Dia meminta saya untuk memberikan like ke videonya di YouTube. Dia menceritakan bahwa yang mendapatkan like terbanyaklah yang memenangkan kompetisi video ini. Setelah membuka dan memberikan ‘jempol’ ke videonya, saya mengatakan jika saya yang menjadi pembuat kompetisi, saya tidak akan memasukkan jumlah viewers, like, share, comment, atau apa pun itu yang sejenis, sebagai kriteria penilaian. Saya beralasan, jika jumlah tersebut masuk sebagai kriteria penilaian, yang memiliki teman/koneksi paling banyak yang pasti akan meraih piala, yang berarti kemenangan tersebut berasa semu.

Kualitas Nomor Dua | Pendapat saya, ini masalah prioritas. Apa yang diharapkan oleh creator dalam sebuah kompetisi? Apakah kualitas dan usaha materi yang bersangkutan? Atau sebagai cara untuk memasarkan kontennya? Untuk yang pertama, sudah jelas. Kalau yang diinginkan dari creator ialah ciptaan peserta dengan materi yang berkualitas, peserta seharusnya tidak diharuskan memikirkan cara marketingnya. Oleh karena itulah juri atau sang penilai wajib profesional dan objektif. Untuk yang kedua pun, saya berpendapat masih bisa untuk meniadakan kriteria penilaian jumlah viewers, like, share, comment tanpa menghilangkan tujuan awalnya, yaitu popularitas medianya.

Mari Bayangkan, bagusnya karya dari seorang peserta pasti akan berbanding lurus dengan popularitas medianya. Promosi itu penting. Karya bagus tanpa diimbangi promosi yang bagus, ya sama saja seperti pakai jeans tapi lupa pakai ikat pinggang. Melorot. Tapi yang terjadi di lapangan adalah dijadikannya popularitas sebagai alasan untuk menomorduakan kualitas. “Yang penting rame, Bro. Booming”.  Yang terangkat ke permukaan bukan yang paling kreatif, tapi yang paling kontroversial. Lihat saja berapa orang yang menonton video Awkarin memegang tisu dengan beberapa mililiter air mata keluar dari matanya. Bagi saya, untuk membawa pulang piala kompetisi dengan kriteria penilaian jumlah viewers, like, share, comment, tidak perlu mengerutkan dahi untuk mencari ‘ilham’.  

Profesional | Saya setuju apabila ajang pencarian bakat menyanyi seperti Indonesia Idol, tidak menggunakan voting melalui SMS untuk menentukan siapa yang lanjut siapa yang pulang. Mengapa masih ada voting SMS seperti itu? Selain alasan mendapatkan rating share yang besar dan mendapatkan pendapatan tambahan, Creator beralasan bahwa yang memenangkan kompetisi ini adalah yang diidolakan oleh masyarakat. Masyarakat harus diikutsertakan dalam memilih idolanya. Ini adalah alasan creator menurut pendapat saya.

Alasan yang terakhir membuktikan bahwa memang yang diprioritaskan adalah subjeknya. Siapa orangnya. Bukan materinya. Karena yang paling ahli dalam materi adalah juri, bukan masyarakat. Juri yang hadir sudah terbukti bisa hidup dengan karya musiknya. Maka dari itu, juri wajib profesional dan objektif.

Pemilihan Umum | Anda mungkin bisa mengatakan saya tidak konsisten apabila mendukung untuk meniadakan jumlah viewers, like, share, comment, tapi mendukung pemilihan umum untuk menentukan pemimpin. Logikanya, seharusnya saya mendukung pemilihan dari DPR/DPRD seperti dahulu, bukan? Pemilihan umum berbeda dengan kompetisi yang saya jabarkan di atas. Para calon kandidat sudah sama-sama mengukir prestasi. Ada baik dan buruknya. Kita, sebagai rakyat, harus memilih yang menurut kita pantas dijadikan wakil. Dalam hal ini, yang kita perhitungkan subjek dan objeknya. Dalam pemilu, pilkada, dan sebagainya, kita harus bersikap subjektif dan objektif. Kita sesungguhnya belum menyukai salah satu paslon apabila hanya mau tahu baiknya apa.

Bukti | Deddy Corbuzier pun pernah mengatakan di akun media sosialnya untuk tidak memilihnya dalam sebuah voting (saya lupa apa). Bapak satu anak ini mengatakan ia tidak bangga apabila menang karena banyak-banyakan SMS. Beliau pun mengatakan sebenarnya ia tidak pantas dijadikan nominasi ini. Kandidat yang lain lebih pantas.  Hal ini pun semakin membuktikan bahwa popularitas itu hadir untuk menomorduakan kualitas. Bukan lagi menjadi akibat dari kualitas.

Memberikan ‘Panggung’ | Singkatnya, untuk menentukan sebuah prestasi tidak perlu banyak-banyakan viewers, like, share, comment, ataupun voting. Nanti jadinya seperti teman saya yang meminta untuk diberikan like di videonya. Nanti jadinya seperti saya yang hanya membuat beliau menang tanpa menilai bagus tidaknya video, dengan alasan dia teman. Harus ada pihak/tim profesional yang menilai.

Sebenarnya, kekeliruan adalah bukan pada popularitasnya, tapi pada kita yang memberikan ‘tempat bermain’.

Gambar : LINE SHOPPING
Gambar : LINE SHOPPING
 

(Saya tidak endorse)

Sebenarnya, saya yang sudah menyelesaikan artikel ini pun telah ‘termakan’ mereka yang mencari popularitas semata, sudah menjadi korban.

Anda mau ikutan jadi korban?

Jangan mau.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun